
Oleh: Ace Somantri*
KEMENTERIAN Agama Republik Indonesia selalu jadi sorotan publik manakala bicara hal ihwal berbagai permasalahan agama, khususnya terkait fenomena keagamaan dalam Islam.
Banyak sekali persoalan agama yang selalu menjadi buah bibir masyarakat Indonesia. Pasalnya di negeri ini mayoritas masyarakatnya beragama Islam.
Oleh karena itu, setiap ada masalah yang berkaitan dengan keagamaan Islam yang mencolok, selalu ramai diperbincangkan, apalagi soal haji dan ibadah menjelang ibadah idain, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha.
Dari perjalanan sejarah panjang Kementerian Agama, beberapa dekade ke belakang sudah menjadi stigma bahwa Menteri Agama menjadi salah satu ruang politik kelompok ormas tertentu. Sehingga dalam struktur pejabat yang menjabat hampir dipastikan banyak yang berlatar belakang ormas tersebut. Seolah-olah itu adalah menjadi rumahnya.
Bahkan, sangat mencolok mata saat karier jabatan di Kementerian Agama harus ada katebelece (rekomendasi sakti) dari tokoh ormas tersebut. Tidak sedikit di antara mereka yang mendaftar dan mengikuti seleksi jabatan berupaya keras memiliki kartu anggota ormas tersebut.
Fenomena di atas sudah menjadi rahasia umum, termasuk menjadi pimpinan perguruan tinggi agama Islam negeri yang di bawah Kementerian Agama pun hampir dipastikan mengalami dinamika tersebut.
Terlepas itu semua, apa pun alasannya bahwa setiap lembaga milik pemerintah sebaiknya transparan dan berkeadilan. Semua warga negara, berlatar belakang komunitas apa pun, sebaiknya tidak ada pilah-pilah atas dasar kedekatan emosional organisasi yang sangat subjektif.
Ruang publik yang seharusnya milik semua warga negara, kalau hanya mengakomodasi ormas tertentu, menjadi ruang terbatas milik kelompok atau golongan tertentu yang tidak profesional.
Alhamdulillah, sejak Menteri Agama dijabat Kiai Nasaruddin Umar, ada perubahan mendasar pola dan model kepemimpinannya. Kejujuran dan sikap bijaksananya sangat tampak.
Sekalipun berlatar belakang sama ormasnya dengan menteri sebelumnya, tetapi sikap objektivitasnya menjadikan kerangka kebijakan dalam kementerian yang dipimpinnya. Sehingga beberapa bulan ini, reputasi Menteri Agama dalam survei penilaian kinerja selalu masuk kategori sangat baik dan menjadi jajaran menteri papan atas dan kinerja baik.
Namun, di sisi lain, sosok Kiai Nasaruddin Umar mendapatkan kritik cukup tajam dari aktivis muda komunitas yang tak jauh dari irisan mantan menteri sebelumnya. Mereka mengatakan yang esensinya bahwa Menteri Agama bukan kiai Nahdlatul Ulama, melainkan Kiai Nasaruddin Umar.
Smoga hal tersebut hanya celotehan kritis anak muda yang memberikan nutrisi bergizi untuk bapak Menteri Agama agar tetap konsisten pada jalur yang benar. Reputasi Kiai Nasaruddin Umar sangat tidak diragukan, baik keilmuannya maupun perilakunya.
Berbeda jauh dengan sebelumnya, dari cara bicara dan sikapnya memberi kesan kepada publik banyak nilai dan ibrah yang dapat diambil. Sosok Kiai Nasaruddin Umar, ketika diminta menjadi Menteri Agama cukup kaget. Percaya tidak percaya bahwa hal tersebut apakah benar atau salah.
Namun, fakta dan realitasnya Presiden Prabowo memang memilih dia sangat penuh pertimbangan secara khusus. Pasalnya presiden memiliki data objektif terkait rekam jejak yang baik dari sosok Kiai Nasaruddin Umar. Hal itu terbukti dalam rentang seratus hari kerja, Kementerian Agama menunjukkan peningkatan perbaikan.
Terlepas disukai atau tidak oleh pihak-pihak terkait, wibawa sosok Kiai Nasaruddin Umar sebagai Menteri Agama tetap memiliki marwah yang lebih baik dari sebelumnya. Bahkan dianggap telah mengembalikan marwah Kementerian Agama secara keseluruhan.
Hal demikian muncul dari sikap kepribadiannya yang menampakkan diri seorang pemimpin yang santun dan bijak. Termasuk sikap tegas terhadap perilaku yang mengindikasikan tindakan melanggar hukum.
Seperti beliau menolak kiriman paket apa pun ke ruangan menteri. Apalagi tanpa jelas isi paketnya. Setiap paket yang dikirimkan kepadanya, langsung dikirimkan ke kantor KPK untuk dicek dan diselidiki.
Sangat terlihat juga manakala melakukan penentuan hari-hari raya besar atau penentuan awal ibadah saum umat Islam. Dia tidak terpengaruh oleh dominasi pendapat, tetapi lebih akomodatif yang rasional, logis, dan objektif.
Ormas-ormas Islam pun saat ini lebih familiar dan cenderung bersahabat satu dengan yang lainnya. Hal itu telah dibangun dengan suasana kebatinan para tokoh umat Islam yang diperlihatkan langsung oleh Menteri Agama yang arif dan bijaksana. Sehingga situasi perdebatan Ilmiah berjalan sejuk, damai, dan keputusan yang diambil menjadi keputusan mufakat.
Pun sama, saat manakala menghadapi kebijakan Kementerian Agama yang terindikasi krusial nan rumit selalu mengedepankan sikap rileks tetapi tetap berwibawa.
Sosok menteri Agama sangat terlihat, gaya dan penampilannya menampilkan profil tokoh agamawan, jauh dari sosok pejabat birokrat yang elitis. Setiap ucapan perkataan yang disampaikan, baik dalam forum formal maupun informal, selalu penuh makna yang memiliki pesan dan petuah berharga.
Sehingga hampir dipastikan pejabat eselon di bawah menteri sangat segan dan takzim kepadanya. Aura kewibawaanya tampak dalam raut wajahnya. Terlihat bersih secara visual. Sangat mungkin wibawa tersebut memancar dari sikap hati yang tulus dan bersih.
Kenapa dapat dinilai beda Menteri Agama sekarang karena sisi pribadinya sangat tampak terlihat dari cara berkata dan tindakan perilakunya. Hanya sikap menteri ini belum menetes ke bawahannya, baik birokrat pejabat kementerian di pusat maupun perwakilan di wilayah dan daerah Kementerian Agama.
Tampaknya, sangat perlu rotasi pejabat kepala-kepala Kanwil Kementerian tingkat provinsi dan kepala tingkat daerah kota dan kabupaten. Realitasnya masih terlihat terdapat Kepala Kanwil yang sangat birokratis yang elitis, jauh dengan sikap sebagai pelayan publik.
Semoga kritik keras yang pernah disampaikan kiai Nasaruddin Umar terkait pelayanan dirinya saat ke wilayah dan daerah dijamu secara berlebihan, mungkin dapat dipahami sebagai bentuk penghormatan kepada atasan yang dipastikan sebagai majikan.
Hal itu sangat tidak diharapkan oleh Menteri Agama, pasalnya sikap demikian ada indikasi memaksakan diri dan memiliki tujuan tersembunyi seperti istilah “ada udang di balik batu”, sementara melayani bawahan, apalagi masyarakat umum sangat berbanding terbalik.
Jangankan melayani masyarakat, ditemui saja sangat susahnya luar biasa dengan seribu alasan. Memang sangat tidak diharapkan sikap demikian.
Mungkin sikap demikian awal niatnya baik, karena untuk menghindari orang atau pihak tertentu yang berbuat tidak baik. Atau menghindari waktu yang tidak efektif dan produktif, bahkan sangat mungkin menghindari dari niat yang berbuat jahat.
Namun, yakin sekali setingkat birokrat pejabat tertentu telah memiliki pengalaman panjang hingga mampu membedakan secara objektif. Hanya saja fenomena sulit ditemui para birokrat Indonesia ada kecenderungan memiliki sikap elitis merasa menjadi seorang pejabat dengan memposisikan diri bak raja yang harus dilayani.
Berharap paradigma birokrat Indonesia benar-benar berubah sehingga selalu menemui masyarakat secara terbuka tanpa ada sekat batas. Apalagi mereka dibayar dengan gaji dari masyarakat.
Tidak ada alasan apa pun untuk menghindari dengan alasan apa pun. Harta bergelimang, kekayaan yang melimpah, dan fasilitas yang mendampingi semata-mata bukan dari dirinya langsung, melainkan dari hasil pungutan pajak harta kekayaan masyarakat.
Jika hal itu juga tidak disadari, sangat keterlaluan. Bahkan tidak tahu malu akan dirinya bahwa hidup dan napasnya dari banyak keringat orang lain.
Wajar dan perlu diapresiasi setiap pemimpin dan pejabat yang peka dan peduli pada pelayanan publik. Jangan dicibir bahwa itu sebuah pencitraan. Justru harus dimotivasi dan diapresiasi hingga diikuti oleh bawahannya. Bahkan seharusnya dijadikan tradisi semua lembaga pemerintahan.
Maka sosok Kiai Nasaruddin Umar juga harus didorong untuk membuat kebijakan melayani Kementerian Agama kepada publik secara terbuka dan transparan tanpa membeda-bedakan status dan golongan tertentu. Wallahu’alam.