Kabar Persyarikatan

Kepemimpinan Dedi Mulyadi: Menghapus Sekat Sosial dalam Pendidikan di Jawa Barat (1)

Oleh: Ace Somantri*

PENDIDIKAN asasi manusia di mana pun mereka hidup, begitupun warga negara Indonesia, termasuk warga Jawa Barat, berhak bagi setiap anak usia sekolah, tanpa memandang latar belakang ekonomi, status sosial, tingkat kecerdasan, dan juga tidak melihat kondisi psikis mereka.

Namun, realitasnya di Indonesia, termasuk di Jawa Barat, kecenderungan menunjukkan adanya kesenjangan yang mencolok dalam sistem pendidikan. Sekolah-sekolah yang dianggap “favorit” faktanya sering kali hanya dapat diakses oleh anak-anak yang berasal dari keluarga yang mampu secara ekonomi, sosial, dan memiliki prestasi akademik di atas rata-rata, bahkan lebih lucu lagi memiliki akselerasi politik.

Akibatnya, sekolah atau perguruan tinggi tidak lagi menjadi tempat untuk mencetak generasi sumber daya manusia yang cerdas dan berkarakter. Namun, hanya menjadi ruang membesarkan diri bagi mereka yang sudah unggul sejak awal dan memiliki akses yang cepat.

Fenomena tersebut secara nyata telah menciptakan sekat sosial yang semakin memperlebar jurang kesenjangan sosial dalam hak pendidikan. Mereka anak-anak yang beradal dari keluarga kurang mampu sering kali terpaksa bersekolah di lembaga yang fasilitasnya terbatas, tenaga pengajarnya kurang mendapat perhatian, dan pelatihan kompetensi yang optimal sehingga kualitas pendidikannya tidak sebaik sekolah-sekolah dengan fasilitas unggulan.

Di sisi lain, faktanya terdapat sekolah-sekolah “elite” yang elitis dengan fasilitas terbaik di atas standar yang justru semakin selektif dalam menerima siswa, baik selektif kecerdasan dan ekonominya. Hal demikian hanya memberikan kesempatan bagi mereka yang sudah berada di posisi sejak awal memiliki privilege yang menguntungkan.

Sistem dan tradisi ini pada akhirnya akan membuat substansi pendidikan kehilangan esensi utamanya, sebagai alat untuk mencerdaskan bangsa dan memberikan kesempatan hak yang sama bagi semua warga. Sekolah yang baik dan unggul tidak hanya tempat berkumpulnya anak-anak kaya dan pintar. Namun, tempat untuk mendidik atau mengajarkan dan membimbing semua anak berbagai latarbelakang agar menjadi lebih terlayani, baik dari segi akademik maupun karakter.

Jika hanya diberikan kepada anak-anak pintar dan kaya raya yang langsung mendapatkan pendidikan unggul dan berkualitas, lalu bagaimana dengan mereka yang kurang secara intelektual dan miskin secara ekonomi juga jauh dari akses politik bersifat privilege semata? Masalah tersebut bukan hanya soal akses pendidikan, melainkan tentang dampak jangka panjangnya terhadap peningkatan sumber daya manusia ke depan dalam struktur sosial masyarakat.

Jika demikian, dunia pendidikan hanya menjadi privilege atau hak istimewa bagi kelompok sosial tertentu, maka kesenjangan atau gap kelompok ekonomi dan sosial akan terus-menerus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak-anak dari keluarga miskin dan dasar intelektual di bawah standar akan semakin sulit untuk memperbaiki kesejahteraan taraf hidup mereka karena sejak awal mereka sudah tertinggal jauh dalam akses terhadap pendidikan unggul dan berkualitas.

Namun, harapan untuk menghapus sekat sosial tersebut dalam dunia pendidikan masih ada. Kang Dedi Mulyadi, terkenal “Bapak Aing” di antara salah satu pemimpin daerah yang memiliki visi untuk memperbaiki tradisi dan sistem pendidikan agar lebih inklusif dan merata. Beliau saat ini terpilih menjadi Gubernur Jawa Barat.

Kang Dedi Mulyadi yang sangat familiar di kalangan masyarakat pinggirian, kanal Yotube-nya sangat banyak follower hingga pelosok desa-desa dan kampung telah memberi harapan baru. Dengan pendekatan yang lebih merakyat dan populis, ia akan mendorong kebijakan-kebijakan pemerintah daerah yang memungkinkan dapat menyentuh harapan warga tanpa sekat batas sosial, tanpa memandang latar belakangnya, mereka generasi usia sekolah akan mendapatkan pendidikan yang layak.

Berharap kangkah-langkah yang diambilnya dapat menunjukkan dan membuktikan bahwa pendidikan berkualitas tidak hanya untuk mereka yang kaya raya dan cerdas intelektual sedari dini sudah unggul dari awal,. Namun, pendidikan untuk semua usia anak sekolah yang berada di Jawa Barat ataupun warga negara Indonesia. Bagi para ilmuwan, para ahli, dan praktisi pendidiikan, harus menyikapi dengan serius dan sungguh-sungguh membantu dan mengawal kebijakan pendidikan yang adil dan merata.

Maka dari itu, penting para pakar untuk mengkaji kembali sistem pendidikan. Basis budaya dapat dijadikan “tetekon” saat ini bahwa pendidikan untuk semua dan sebaiknya pihak-pihak terkait dapat menyoroti upaya yang dilakukan Kang Dedi Mulyadi dalam mewujudkan pendidikan yang lebih adil dan merata.

Tulisan ini akan mengomentari sedikit membahas bagaimana pendidikan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, yang masih menghadapi tantangan sosial “elitisme pendidikan” yang membentuk budaya dan karakter penjajahan moral bagi generasi usia anak sekolah. Kemudian bagaimana menyikapai rencana kebijakan dan mengupas visi gubernur Jawa Barat saat ini sehingga dalam implementasinya dapat menjadi harapan baru bagi masa depan pendidikan Jawa Barat yang lebih inklusif, adil, dan merata bagi warga masyarakat Jawa Barat yang bermartabat.

Gaya yang khas pituin asli orang Sunda banget, Kang Dedi Mulyadi, sosok pemimpin Jawa Barat, akan mengubah tradisi sosial, ekonomi, politik, dan hal-lainnya lebih mementingkan pelayanan publik. Sedikit demi sedikit ada langkah nyata dan keberpihakan terhadap dinamika pendidikan di Jawa Barat. Melalui media sosial telah viral menyoroti adanya perilaku profesi tertentu yang menghantui sekolah-sekolah hingga terindikasi melakukan tindakan pemerasan dengan dalih atau alasan yang tidak masuk akal.

Kritik Terhadap Sekolah Elite Yang Elitis

Sistem dan praktik pendidikan di Indonesia, khususnya di Jawa Barat, masih sangat berorientasi pada konsep sekolah favorit yang cenderung mahal dan elitis. Sekolah-sekolah unggulan lebih banyak menerima anak usia sekolah dengan nilai akademik bagus dan kecerdasan intelektual tinggi dan juga sering kali membebankan biaya pendidikan yang tidak terjangkau oleh kalangan ekonomi menengah ke bawah.

Akibatnya, hanya anak-anak berlatarbelakang dari keluarga kaya, mampu secara ekonomi, dan berprestasi sejak awal yang dapat mengakses fasilitas dan metode pembelajaran terbaik. Hal ini menciptakan eksklusivitas pendidikan. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat untuk mencetak sumber daya manusia berkualitas secara terbuka, justru faktanya sekolah-sekokah tersebut hanya menerima dan menampung mereka yang sudah baik dan unggul sebelumnya.

Fenomena yang muncul tidak hanya mencerminkan ketidakadilan dalam sistem pendidikan dan sangat mungkin ke depan akan membentuk kelas sosial yang tidak sehat bagi generasi yang akan datang. Dampaknya akan melahirkan hukum rimba sosial karena diperparah oleh kesenjangan sosial di masyarakat yang dibentuk sejak dibangku sekolah.

Ini harus menjadi perhatian sekolah-sekolah elitis semakin memperkuat stratifikasi sosial dengan menciptakan perbedaan yang mencolok antara sekolah-sekolah unggulan dan sekolah-sekolah biasa. Anak-anak dari keluarga mampu mendapat akses ke lingkungan belajar yang lebih baik, tenaga pengajar yang lebih kompeten, dan peluang lebih besar untuk melanjutkan pendidikan tinggi.

Sementara itu, anak-anak dari keluarga kurang mampu sering kali harus puas dengan fasilitas seadanya dan tenaga pendidik yang tidak mendapatkan pelatihan optimal. Selain itu, konsep sekolah favorit juga mereduksi yang berpotensi keluar dari makna pendidikan itu sendiri. Pendidikan seharusnya menjadi proses pembelajaran yang membentuk karakter dan membangun potensi, minat, dan bakat setiap individu, bukan sekadar menjadi tempat kompetisi bagi mereka yang sudah unggul.

Seandainya sekolah hanya menerima siswa yang pintar dan berprestasi serta yang berduit banyak, peran pendidikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas sumber saya manusia dari setiap individu menjadi hilang. Padahal, amanah ajaran agama, budaya, dan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia bahwa pendidikan hak warga negara tanpa membeda-bedakan. Wallahualam.

*Wakil Ketua PWM Jawa Barat

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button