Oleh: Iqbal Maulana*
Pemberitaan tentang korupsi semakin sering muncul belakangan ini. Korupsi di Indonesia kini menjadi masalah yang kian sering terjadi. Tindak pidana korupsi semakin meluas dan merajalela. Hal ini menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi masih menjadi tantangan besar. Meskipun berbagai upaya dilakukan, masalah korupsi terus mengemuka dan sulit diberantas.
Contohnya pada awal April 2024 terungkap korupsi timah senilai Rp 271 triliun. Itu adalah angka korupsi terbanyak yang pernah terjadi di Indonesia. Melebihi kasus penyerobotan lahan PT Duta Palma Group (Rp 78 triliun). Tindakan itu merugikan negara Rp 4,7 triliun dan 7,8 juta dollar AS (Rp 1,27 triliun)
Mengapa kasus korupsi terus meningkat dan seolah tidak pernah selesai dalam dunia politik dan pemerintahan? Mungkin saja masih banyak kasus korupsi yang belum terungkap karena para pelaku saling melindungi. Padahal, para pelaku korupsi tersebut umumnya adalah pegawai atau pejabat pemerintah yang sudah memiliki penghasilan tetap.
Lalu, mengapa mereka tetap melakukan korupsi meskipun sudah memiliki kehidupan yang nyaman dan penghasilan tetap? Apakah mereka merasa belum puas dengan apa yang dimiliki? Ternyata, alasan seseorang melakukan korupsi sangat beragam. Namun, secara singkat, penyebab korupsi dapat dijelaskan melalui teori GONE.
Teori GONE yang dikemukakan oleh penulis Jack Bologna adalah singkatan dari greedy (keserakahan), opportunity (kesempatan), need (kebutuhan) dan exposure (pengungkapan). Teori GONE mengungkapkan bahwa seseorang yang korupsi pada dasarnya serakah dan tidak pernah puas. Tidak pernah ada kata cukup dalam diri koruptor yang serakah.
Keserakahan yang didukung oleh adanya peluang menjadi katalisator terjadinya tindak pidana korupsi. Ketika keserakahan bertemu kesempatan, risiko seseorang melakukan korupsi semakin besar, terutama jika didorong oleh gaya hidup berlebihan dan lemahnya pengungkapan atau penindakan yang tidak mampu memberikan efek jera bagi pelaku.
Lemahnya penegakan hukum dalam pemberantasan korupsi menjadi masalah yang serius. Selain itu, para pimpinan lembaga sering kali terlihat kurang memiliki tekad yang kuat untuk menangani kasus korupsi secara tuntas.
Faktor politik, termasuk kedekatan dengan pihak yang memiliki kekuatan politik besar, masih sering dianggap sebagai “kartu as” yang harus dipertahankan. Praktik balas budi semacam ini turut menjadi salah satu penyebab maraknya kasus korupsi.
Budaya keluarga Indonesia sering disalahartikan sebagai bentuk saling membantu, padahal praktik tersebut belum tentu sesuai dengan prinsip etika. Untuk mengatasi hal ini, penting memberikan pemahaman tentang nilai-nilai antikorupsi kepada generasi muda serta menanamkan pendidikan antikorupsi sejak usia dini.
Pendidikan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang tindakan korupsi, sehingga mereka dapat berperan aktif dalam upaya pemberantasannya. Melalui penanaman nilai-nilai antikorupsi dan pendidikan yang memadai, masyarakat dapat memahami dampak serta penyebab korupsi, sehingga mampu berkontribusi dalam mengatasinya.
*Ketua Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Subang