Kolom

Menjaga Persemaian Muhammadiyah di Tasikmalaya Utara

Sumber Gambar: Pribadi.

Hari Rabu merupakan hari ber-Muhammadiyah bagi PCM Ciawi, PCM yang baru berusia beberapa bulan. Hari itu digunakan untuk berkumpul, taklim, dan berkonsolidasi sambil merancang, merencanakan, dan membicarakan berbagai aktivitas. Semua rumusan kegiatan dirancang dalam rangka menghidupkan syiar gerakan dakwah Muhammadiyah di Ciawi dan sekitarnya.

Rabu merupakan waktu ”ikrar janji” yang disepakati agar dalam sepekan ada satu hari para kader escape sejenak dari semua rutinitas harian. Saat untuk menginfakkan potensi yang dimiliki, baik itu waktu, materi, tenaga, dan pikiran untuk merawat dan menjaga “persemaian” Muhammadiyah bernama PCM Ciawi.

Komitmen, spirit “jihad”, dan militansi para kader serta aktivis PCM Ciawi bisa menjadi lahan subur bagi “persemaian” Muhammadiyah. Namun, hal ini meminta sebuah prasyarat, prasyarat itu adalah cinta. Cinta yang otentik, mencintai Muhammadiyah dengan tulus dan ikhlas tanpa reserve.

Cinta memberi energi yang mendorong aktivis Muhammadiyah untuk selalu hadir di acara rapat, pengajian, dan kegiatan persyarikatan dengan tepat waktu. Cinta yang mendorong para anggota secara sukarela gotong royong iuran, urunan, dan berdonasi.

Cinta pula yang melahirkan komitmen genuine untuk berkhidmat sepenuhnya kepada persyarikatan. Berani menanggalkan baju lama berganti ke baju yang baru, mengonversi mindset lama ke mindset baru bernama manhaj, paham agama, dan ideologi Muhammadiyah. Itulah manifestasi dan otentisitas cinta.

Tidak masalah sejak kapan para kader menemukan momentum bergabung dan berjuang di Muhammadiyah, sejak muda atau sesudah pensiun. Hal yang paling krusial sekarang adalah seberapa besar -meminjam ungkapan DR. Nurbani Yusuf- “gemuruh” cinta itu untuk Muhammadiyah, how deep is your love kata Bee Gees.

Poin yang satu ini, jauh lebih fundamental daripada kapan dan di titik mana kita menyatakan diri sebagai kader penerus perjuangan Kyai Dahlan. Kader militan yang bersungguh-sungguh ingin memajukan persyarikatan. Kader yang selalu siap jika ada panggilan Muhammadiyah bukan menjadi kader yang ambivalen, kader yang mendua hati. 

Tidak menjadi kader yang memasuki “rumah” Muhammadiyah tapi pintu hati masih dibuka bagi yang lain. Seperti formulasi  menerima konsep “darul `ahdi wa al syahadah” yang disepakati Muhammadiyah tentang relasi Islam dan negara. Hal ini tidak perlu lagi diperdebatkan serta lantas masih melirik atau tertarik dengan konsep khilafah.

Tidak bisa dipungkiri selama lebih dari satu dekade ini, sering disaksikan dalam sebuah ruang dakwah terdapat berbagai macam tawaran. Layaknya sebuah pasar bebas atau free market yang diramaikan oleh berbagai macam ideologi dan pluralitas paham keagamaan. Dalam ranah ini Muhammadiyah juga tidak luput dari serbuan tersebut, seperti kata Pak Dien Syamsudin, yang menamakan fenomena di atas dengan para “sales ideologi”.

Sebagai ormas keagamaan yang  “open- ended”, terbuka, Muhammadiyah sangat welcome terhadap siapapun untuk masuk mengikuti pengajian dan beribadah di musala dan masjid-masjid yang dikelola oleh Muhammadiyah. Tidak ada litsus di Muhammadiyah apalagi sumpah janji kesetiaan.

Karakter gerakan Muhammadiyah yang accessible, mudah diakses dan terbuka bagi siapapun ini,  seiring berjalannya waktu menimbulkan problem. Kedatangan para “imigran” yang masuk ke Muhammadiyah kata Pak Syafiq A. Mughni malah menjadi benalu di Muhammadiyah.

 Jamaah Tarbiyah

Tepat tanggal satu Ramadhan lalu, PCM Ciawi terpaksa harus menghentikan sebuah komunitas pengajian yang menggunakan fasilitas masjid Al-Furqon Muhammadiyah Ciawi. Mereka mengaku sebagai kelompok “jamaah tarbiyah”. Dialog dua jam lebih pun dilakukan namun tidak menemukan titik temu. 

Secara persuasif menawarkan kepada mereka untuk bergabung dengan PCM Ciawi. Hal ini dilandaskan pada beberapa anggotanya yang alumni pesantren Muhammadiyah.

Ada dua pilihan yang diberikan, bergabung atau kembali ke lingkungan mereka semula. Akhirnya, mereka memilih yang terakhir. Dengan berat hati, aturan organisasi tetap harus ditegakkan. Hal itu dilakukan semata untuk menjaga “persemaian” Muhammadiyah dari “virus” yang kelak akan menjadi parasit dalam gerak persyarikatan.

Pada buku “Muhammadiyah dan Tantangan Masa Depan, Sebuah Dialog Intelektual”, Dr.  Nurcholish Madjid (alm) menulis, Muhammadiyah harus memiliki daya saring ke-Muhammadiyahan. Hal ini seperti  sebuah metabolisme tubuh yang mampu mengolah dan mengubah apa saja yang masuk dan kemudian menjadikannya bagian organik tubuh itu sendiri untuk mendukung pertumbuhan dan pertahanannya.

Gagasan Cak  Nur sebagai sebuah kontribusi pemikiran untuk Muhammadiyah masih tetap relevan hingga kini. Tapi pada praktiknya hal tersebut bukan perkara mudah. Terkadang sebuah “diskresi” yang lebih tegas, lebih assertive dibutuhkan untuk menyikapi dinamika di lapangan, take it or leave it. Sebagaimana pesan Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir, jika tidak bisa dibina, pilihannya adalah berpisah baik baik.

Wallahu a`lam bish shawab

*Tulisan oleh Yandi, Ketua PCM Ciawi

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button