Kabar Persyarikatan

Indonesia di Persimpangan Kritis Transisi Energi

Bandung – Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakayat (MPR) Eddy Soeparno mengatakan bahwa saat ini Indonesia berada di persimpangan jalan energi yang kompleks. Pada satu sisi, ambisi pemerintah Prabowo-Gibran untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hingga delapan persen akan mendorong lonjakan signifikan pada permintaan energi nasional.

Namun, pada sisi lain, kata Eddy, negara menghadapi paradoks serius: meskipun memiliki potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang melimpah hingga 3.700 GW, dengan potensi energi surya terbesar (3.300 GW), bauran EBT saat ini baru mencapai 14 persen, jauh di bawah target 23 persen pada tahun 2025.

Kebergantungan pada energi fosil, lanjut Eddy, terutama batu bara yang menyumbang 61 persen pembangkit listrik, membuat ketahanan energi rentan terhadap impor dan bertentangan dengan komitmen dekarbonisasi ekonomi pada tahun 2060.

“Oleh karena itu, transisi energi kini bukan lagi pilihan, melainkan suatu keharusan untuk mencapai kemandirian dan lingkungan yang sehat,” ujar Eddy dalam acara MPR Goes To Campus di Auditorium KH Ahmad Dahlan UM Bandung pada Selasa (02/12/2025). Acara ini mengangkat tema “Urgensi Transisi Energi Mencegah Dampak Perubahan Iklim.”

Kebutuhan transisi energi ini semakin mendesak di tengah ancaman krisis iklim yang nyata, terbukti dari fenomena banjir yang terjadi bahkan saat musim kemarau. Ibu kota Jakarta dan sekitarnya juga menghadapi darurat polusi udara (AQI mencapai 196 pada Juni 2025) yang diperparah oleh dominasi PLTU batubara di sekitar wilayah tersebut.

Selain itu, sektor transportasi menyumbang 50-60 persen polusi udara dan industri 20 persen. Menanggapi kondisi darurat ini, MPR RI menegaskan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah amanat konstitusi (Pasal 28H Ayat 1 UUD 1945).

Melalui koridor demokrasi, MPR saat ini aktif mendorong percepatan transisi energi dan penyelesaian kerangka hukumnya, termasuk RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) yang telah siap disahkan dan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim (RUU PPI), sebagai langkah strategis untuk mitigasi dan adaptasi terhadap krisis iklim.

Rektor Universitas Muhammadiyah Bandung Herry Suhardiyanto menjelaskan bahwa gagasan transisi energi selaras dengan nilai-nilai Islam berkemajuan yang selama ini menjadi pijakan Muhammadiyah. Ia menekankan bahwa banyak persoalan bangsa yang membutuhkan kehadiran generasi kreatif untuk menghadirkan solusi berbasis ilmu pengetahuan. Dalam konteks itulah, mahasiswa diharapkan mampu memadukan penguasaan ilmu dengan kepekaan terhadap tantangan nasional.

Lebih lanjut, ia menyoroti pentingnya memahami nilai sila keempat Pancasila, yang menempatkan hikmat kebijaksanaan sebagai dasar permusyawaratan. Hikmah, yang dimaknai sebagai ilmu pengetahuan yang digunakan secara bijak, menjadi landasan bagi pengelolaan kepentingan umum. Oleh karena itu, mahasiswa perlu memahami bahwa pengetahuan tidak cukup hanya dipelajari, tetapi harus diterapkan dalam bentuk solusi melalui proses konsensus dan mekanisme kerakyatan.

Herry menambahkan bahwa transisi energi harus dipandang sebagai tanggung jawab antargenerasi yang memastikan keberlanjutan bagi masa depan. Untuk itu, integrasi antara ilmu pengetahuan dan proses-proses kerakyatan menjadi kunci bagi pembangunan energi yang berkeadilan. Kegiatan tersebut dihadiri ratusan peserta, mulai dari wakil rektor, dekan, ketua program studi, dosen, hingga mahasiswa yang memenuhi auditorium.***(FA)

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button