Kabar Persyarikatan

Indonesia Bukan Negara Agraris

Oleh: Ace Somantri*

BAGI warga negara Indonesia di mana pun, apalagi penduduk yang lahir dan tinggal di Pulau Jawa, sudah dipastikan dalam alam pikirannya tertanam sudah lama bahwa Indonesia sebagai negara agraris.

Selama ini yang dipahami dengan doktrin yang kuat, referensi yang dirujuk dalam pembelajaran sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi, Indonesia ini sangat luas dengan hamparan hijau persawahan dan ladang.

Sekolah-sekolah mempelajari dari visual gambar tidak jauh dengan gambar-gambar yang memperlihatkan keindahan sawah, sungai, ladang, dan gunung-gunung. Dari gambaran tersebut membentuk pemahaman yang memperkuat ajaran yang disampaikan bahwa Indonesia sebagai negara agraris.

Hal itu tidak salah. Namun, ada kesalahan yang berdampak fatal kepada generasi berikutnya terhadap negara Indonesia yang sebenarnya.

Selama puluhan tahun, masyarakat pada umumnya telah memanfaatkan peran negara sebagai wadah untuk membangun ketahanan dan kedaulatan pangan melalui pendekatan agraris.

Ironisnya, Indonesia sebagai bangsa besar dengan wilayah yang sangat strategis dari berbagai aspek, justru mengalami kekeliruan dalam memahami konsep negara dari sudut pandang geografis dan kewilayahan.

Kesalahan pemahaman ini telah diwariskan secara turun-temurun dan sulit diubah. Lebih memprihatinkan lagi, banyak yang tidak menyadari kekeliruan tersebut, bahkan hampir tidak ada yang memahami secara cerdas dan bijak mengenai hakikat dan keberadaan wilayah bangsa Indonesia.

Sering diungkapkan bahwa Indonesia sebagai negara agraris yang tidak pernah laris manis dalam membangun kesejahteraan rakyat Indonesia. Terus-menerus hanya mengklaim diri sebagai negara agraris yang sulit “berbuah manis” menjadi negara dan bangsa yang disegani.

Indonesia sejatinya adalah negara maritim. Namun, patut dipertanyakan apakah para ilmuwan saat ini menyadari bahwa selama ini bangsa Indonesia telah terbuai dengan label sebagai negara agraris?

Padahal, Indonesia memiliki wilayah perairan dan laut yang sangat luas dan termasuk terbesar di dunia. Ironis dan menyedihkan, kesadaran kolektif tentang jati diri bangsa sebagai negara maritim tidak dibangun melalui cara berpikir yang tepat.

Pola pikir yang keliru telah ditanamkan sejak lama, membuat banyak anak bangsa gagal memahami potensi utama yang seharusnya menjadi fondasi dalam merumuskan visi dan misi kehidupan berbangsa dan bernegara di masa depan. Bahkan generasi terpelajar pun tidak luput dari perangkap pola pikir yang salah dan menyesatkan ini.

Kita semua menyadari bahwa sejak awal memperoleh pengetahuan tentang kondisi geografis Indonesia, selalu disampaikan pesan bahwa Indonesia adalah negara agraris. Pandangan tersebut secara tidak langsung membentuk sikap dan perilaku individu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kesalahan mendasar yang selama ini terjadi mungkin terlihat sederhana, namun dampaknya sangat fatal terhadap cara pandang kebangsaan dan kenegaraan. Faktanya, Indonesia adalah negara maritim dan hal ini dapat dibuktikan secara logis dan rasional.

Pertama, lebih dari 70 persen wilayah Indonesia terdiri atas lautan, jauh melampaui luas daratannya. Kedua, Indonesia memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada.

Ketiga, letaknya yang strategis berada di antara dua samudra besar—Hindia dan Pasifik—menjadikannya jalur perdagangan internasional yang sangat sibuk.

Keempat, Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau mencapai sekitar 17.000. Kelima, posisi geografisnya yang unik menjadikan Indonesia sebagai kunci geopolitik dan geoekonomi dunia. Pasalnya, negara kita memiliki banyak selat penting yang menjadi penghubung kepentingan global dalam percaturan ekonomi dan politik internasional.

Kesalahan berikutnya yang cukup mendasar adalah ketika Indonesia didaulat sebagai negara agraris. Kemudian memaksakan pembangunan ketahanan pangan hanya berfokus pada komoditas padi atau sejenisnya.

Padahal, Indonesia memiliki potensi maritim yang sangat besar dan strategis yang seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai sumber utama ketahanan pangan yang kuat—bahkan mampu bersaing di tingkat global.

Berbeda halnya dengan Tiongkok, yang secara geografis memiliki wilayah daratan jauh lebih luas dibandingkan wilayah perairannya. Kesadaran geografis ini mendorong mereka membangun filosofi negara yang tepat, yakni mengembangkan ketahanan pangan berbasis potensi agraris daratan.

Pemikiran Maois di Tiongkok berhasil menjadikan ketahanan pangan sebagai fondasi utama kedaulatan negara. Tak mengherankan, kini Tiongkok mampu membangun peradaban maju di berbagai bidang. Kesejahteraan rakyat yang kuat menjadi pondasi utama yang memungkinkan mereka berdiri mandiri dalam dinamika global.

Hingga saat ini, bangsa Indonesia tampaknya masih belum sepenuhnya menyadari bahwa dengan wilayah perairan yang luas—bahkan termasuk yang terbesar di dunia—seharusnya sistem ketahanan pangan kita berakar dari kekayaan sumber daya laut.

Sayangnya, terlalu lama Indonesia berada dalam bayang-bayang pengaruh bangsa lain. Terbuai oleh narasi palsu yang justru menjauhkan kita dari jati diri dan potensi sejati bangsa.

Kita telah terlena dalam pelukan yang meracuni pikiran, hingga tertidur begitu lelap tanpa menyadari bahwa “rumah” kita sedang diacak-acak. Kekayaan dan potensi bangsa perlahan digerogoti, dicuri, bahkan dirampok.

Saatnya kita bangkit dari tidur panjang itu. Waktu kita mungkin sudah banyak terbuang. Namun, semoga masih ada yang tersisa untuk bisa dimanfaatkan dan diwariskan kepada generasi mendatang.

Luas perairan dan lautan kita membentang panjang dan luas. Ubahlah mindset kita bahwa negara kita adalah mutlak negara maritim terbesar di dunia.

Kita harus belajar kepada negara-negara kecil yang mampu mengendalikan dunia hanya karena jalur perairan dan laut yang kecil. Misalnya, Iran diembargo puluhan tahun, tetapi mampu bertahan dan menunjukkan kepada dunia mereka mampu menjadi negara berdaulat.

Salah satunya mereka memiliki sistem hebat dengan satu selat yaitu Selat Hormuz. Siapa pun bangsa yang melewati perairan tersebut, ada dalam kendali bangsa dan negara Iran.

Begitupun Yaman. Sekalipun terkenal negara tidak maju, tetapi mampu bertahan dengan berdiri di atas kaki sendiri. Hal itu mereka mampu menjaga kedaulatan dengan perairan laut merah. Negara maju mana pun jika mengusik kedaulatannya, tanpa ada ampun menerima serangan militer yang menakutkan.

Negara yang cerdas mampu mengendalikan politik dan ekonomi global bahkan hanya dengan menguasai satu selat strategis. Fakta ini menunjukkan betapa pentingnya jalur perairan sebagai sumber kekuatan dan pengaruh suatu bangsa.

Negara-negara yang berbasis daratan sekalipun sangat menyadari kebutuhan akan akses dan kendali terhadap wilayah perairan. Pasalnya, dari sanalah kekuatan sejati suatu negara dapat dibangun dan dipertahankan.

Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak selat strategis menyimpan sejarah panjang sebagai bangsa pelaut yang tangguh dan ulung. Suku Bugis, Makassar, dan etnis maritim lainnya dikenal memiliki kemampuan pelayaran yang luar biasa—mereka adalah “Viking”-nya Indonesia.

Keahlian dan keberanian mereka dalam menjelajahi samudra telah menjadi bukti nyata bahwa bangsa ini memiliki warisan maritim yang tak bisa diragukan.

Hal ini harus menjadi pijakan penting dalam membangun filosofi kebangsaan bahwa kemaritiman adalah fondasi utama untuk memperkuat posisi Indonesia dalam ekonomi dan politik global di era modern ini.

Sumber daya daratan—sawah, ladang, hingga pegunungan—telah dieksploitasi selama puluhan tahun hingga nyaris tak menyisakan kekayaan berarti. Kini saatnya bangsa ini beralih memandang laut sebagai harapan dan kekuatan baru untuk membangun masa depan.

Kini saatnya bangsa Indonesia bersatu menyerukan kebangkitan peradaban sejati yang berakar dari laut dan perairan kita. Selat-selat strategis yang dimiliki Indonesia harus dikembangkan sebagai pusat kendali utama kekuatan ekonomi global dalam jangka waktu yang terukur dan terencana.

Pengelolaan potensi ini harus dibangun dengan pendekatan geostrategis yang mampu menempatkan Indonesia dalam posisi yang lebih berdaya dan berdaulat di mata dunia.

Sudah waktunya kita menggagas kampanye nasional untuk ideologisasi kemaritiman Indonesia. Ini merupakan gerakan kolektif yang menegaskan bahwa kejayaan bangsa hanya bisa diraih melalui kekuatan dan potensi laut yang kita miliki. Indonesia akan menjadi tolok ukur dunia, dimulai dari lautnya.

Seluruh kekuatan dan kedaulatan kemaritiman menjadi agenda utama dalam satu dekade ke depan. Tidak ada alasan untuk menolak.

Sejarah dunia hingga kini, laut dan perairan sebagai sumber kedaulatan berbagai aspek dalam kehidupan berbangsa dan bernegara karena lautan dan perairan sebagai sumber multi energi yang tak terbantahkan.

Jutaan hingga miliaran hayati dalam laut lebih dari hayati daratan. Hanya sayang tidak banyak ilmuwan bangsa Indonesia dalam bidang kelautan, perikanan, dan perairan. Seolah-olah tidak memiliki positioning untuk kesejahteraan.

Jepang adalah contoh nyata negara maritim yang mampu tumbuh menjadi negara maju, meskipun memiliki kondisi geografis daratan yang kurang mendukung. Kunci keberhasilannya terletak pada pemanfaatan potensi kemaritiman sebagai dasar dalam membangun kedaulatan dan kemajuan bangsanya. Dari laut, mereka membangun kekuatan.

Semoga hal ini menjadi pelajaran berharga bagi kita semua sebagai suatu bangsa yang sangat besar. Wallahu a’lam.

*Wakil Ketua PWM Jawa Barat

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button