Bandung – Amal saleh wakaf sering kali menjadi salah satu wasilah perbuatan baik dari orang yang sudah meninggal melalui perwakilan orang yang masih hidup. Banyak ditemukan di lingkungan sekitar para ahli waris yang mewakafkan hartanya, tetapi atas nama orang tua atau nenek moyangnya.
Dalam Islam sendiri, tidak ada ajaran yang menjelaskan atau membolehkan penghadiahan pahala bagi orang yang telah meninggal. Kalaupun ada orang yang berpendapat bahwa pahala itu bisa dihadiahkan kepada orang yang sudah meninggal dunia, pendapat itu jelas bertentangan dengan QS Al-Isra ayat 15.
“Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barang siapa tersesat, sesungguhnya (kerugian) itu bagi dirinya sendiri. Seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa sebelum Kami mengutus seorang rasul.”
Juga dalam QS An-Najm ayat 38-39, “Bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS An-Najm: 38-39).
Namun, menjadi suatu kebolehan apabila orang yang sudah meninggal diwakilkan wakafnya oleh ahli waris karena telah berwasiat sebelum kematiannya dengan catatan harta yang diwakafkan tidak melebihi 1/3 bagian dari keseluruhan harta yang ditinggalkan.
Pandangan ini menjelaskan bahwa tindakan wakaf yang dilakukan oleh ahli waris untuk orang yang telah meninggal masih dapat diterima dalam konteks wasiat yang jelas dan terperinci. Wasiat tersebut menunjukkan niat dari almarhum semasa hidupnya untuk berbuat amal saleh melalui wakaf, dan ahli waris hanya bertindak sebagai pelaksana wasiat tersebut.
Keberadaan wasiat juga memastikan bahwa tindakan wakaf ini tidak melanggar prinsip-prinsip Islam terkait dengan harta warisan dan pemilikan. Pembatasan 1/3 dari keseluruhan harta yang ditinggalkan juga menunjukkan kehati-hatian dalam menjaga keseimbangan hak-hak ahli waris lainnya.***