
Oleh: Ace Somantri*
SUASANA Idul Fitri setiap 1 Syawal dalam penanggalan Hijriah selalu diwarnai dengan gegap gempita dan pemandangan yang menggugah mata. Hari kemenangan ini membawa kebahagiaan yang tak ternilai, menjadi momentum penuh suka cita setelah sebulan penuh menjalani ibadah puasa dengan khusyuk, menahan fisik dan psikis dari terbit fajar hingga terbenam matahari.
Gema takbir mulai terdengar sejak malam hari usai salat maghrib, menandai masuknya tanggal 1 Syawal 1446 Hijriah. Kegembiraan tak hanya berlangsung satu hari, melainkan berlanjut dalam beberapa hari ke depan. Masyarakat tak sekadar bersilaturahmi dengan keluarga dan kerabat, tetapi juga memanfaatkan momen libur lebaran untuk berkunjung ke berbagai destinasi wisata.
Tempat-tempat wisata pun dipenuhi oleh warga dari berbagai daerah. Anak-anak dan orang tua tampak larut dalam keceriaan, menikmati suasana yang menyenangkan meskipun harus mengeluarkan biaya yang tak sedikit. Kebahagiaan mereka terasa begitu tulus, seolah-olah tidak terpengaruh oleh kondisi ekonomi sekalipun.
Menariknya, di balik riuhnya suasana liburan dan keramaian tempat wisata, data makro ekonomi nasional justru menunjukkan adanya penurunan daya beli masyarakat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Namun, hal ini tidak menyurutkan semangat masyarakat untuk merayakan Idul Fitri dengan penuh kegembiraan dan suka cita.
Penyucian diri
Berbuat kebaikan adalah ajaran universal, berlaku di bumi maupun di langit, dan menjadi panggilan bagi setiap makhluk hidup di alam semesta ini. Terlebih bagi manusia, makhluk yang diberi akal dan hati nurani, tanpa memandang suku, etnis, ras, atau warna kulit—semua dituntut untuk senantiasa menebar kebaikan kepada sesama dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan.
Satu Syawal menandai hari pertama setelah umat Islam menunaikan ibadah Ramadan. Momentum ini membawa kondisi jiwa dan raga yang bersih dari segala dosa dan noda, seolah-olah kembali pada fitrah manusia yang suci. Selama sebulan penuh, tubuh dan hati telah menjalani proses detoksifikasi spiritual, menjadikan Idul Fitri sebagai momen kemenangan sekaligus penyucian diri.
Hari fitri ini ibarat selembar kertas putih yang belum terisi—masih bersih dan murni. Maka dari itu, momen ini menjadi kesempatan emas untuk memulai kembali dengan niat baik dan tekad kuat dalam menjalani kehidupan ke depan. Kebaikan yang ditanam sejak awal Syawal hendaknya terus berlanjut, mewarnai hari-hari dengan catatan amal saleh yang membawa manfaat.
Inilah saatnya menulis lembaran baru kehidupan dengan tinta-tinta kebajikan—bukan hanya bagi diri sendiri, tetapi juga bagi orang lain dan setiap makhluk yang berbagi kehidupan di bumi ini. Semoga jiwa yang telah kembali pada kesucian dapat terus dipelihara, dan segala tindakan yang kita lakukan menjadi berkah bagi semesta.
Catatan kebaikan sejatinya harus menjadi dominan dan mewarnai buku amal kehidupan kita. Meski tak bisa dipungkiri, akan selalu ada catatan keburukan yang turut tertulis dalam lembaran kehidupan tersebut. Setiap manusia senantiasa didampingi oleh dua malaikat, Raqib dan Atid, yang dengan setia mencatat segala amal perbuatan—baik maupun buruk—tanpa pernah lalai, apalagi keliru. Tak ada satu pun tindakan, sekecil apa pun, yang luput dari pengamatan dan pencatatan mereka.
Keduanya adalah makhluk Allah yang tidak pernah ingkar pada perintah-Nya. Mereka senantiasa taat, melaksanakan tugas pencatatan tanpa henti, kecuali jika diperintahkan langsung oleh-Nya untuk berhenti. Dalam pandangan Islam, manusia diciptakan dalam keadaan suci, bersih dari dosa, dan telah mengikrarkan ketauhidannya kepada Allah SWT sejak dalam alam ruh.
Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa setiap anak yang lahir ke dunia berada dalam fitrah—kesucian dan ketundukan kepada Ilahi. Namun, arah perjalanan hidupnya, apakah tetap dalam fitrah atau menyimpang darinya, sangat dipengaruhi oleh orang tua dan lingkungan yang membesarkannya. Maka menjadi tugas setiap individu untuk menjaga kesucian fitrah itu, membangun kesadaran diri, dan terus mengukir amal kebaikan yang akan menjadi bekal abadi di akhirat kelak.
Keselamatan sejati
Ajaran kebaikan sejatinya menjadi inti dari semua agama dan kepercayaan yang ada di muka bumi ini, kecuali ajaran yang bersumber dari setan, yang hidup dalam kegelapan dan menyesatkan. Setan hanya memiliki satu tujuan: menyesatkan manusia dengan mengajak kepada keburukan, kemaksiatan, dan kemungkaran. Mereka akan terus berhadapan dengan setiap bentuk kebaikan yang dilakukan manusia, hingga akhir kehidupan di dunia ini.
Kebaikan yang dilakukan dengan tulus akan menuntun pada kebenaran dan kebenaran itu pada akhirnya akan membawa kepada keselamatan sejati. Dalam fitrah manusia telah ditanamkan potensi kebaikan yang murni dan hakiki. Siapa pun, dalam kondisi dan keyakinan apa pun, jika terus berupaya melakukan kebaikan dengan hati yang ikhlas, maka Allah Ta’ala pasti melihat dan mendengarnya.
Tak mengherankan bila dalam kenyataan hidup, banyak orang yang akhirnya menemukan cahaya kebenaran dan memeluk Islam, menjadi mualaf. Mereka datang dari latar belakang kepercayaan yang bertentangan dengan ajaran sejati Al-Quran dan As-Sunnah—dua sumber utama yang diturunkan Allah 14 abad silam sebagai penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya melalui kenabian dan kerasulan Muhammad SAW.
Amal kebajikan yang bersifat alami atau fitri (sunnatullah) sejatinya merupakan bagian dari ajaran Ilahi, Tuhan yang menciptakan langit dan bumi. Sudah menjadi hal yang wajar bahwa setiap amal kebajikan yang dilakukan secara rasional dan objektif, tanpa niat tersembunyi atau tipu muslihat, akan menuntun pelakunya menuju kebenaran. Dari sanalah hidayah Allah akan mengalir, membuka jalan menuju kehidupan yang hakiki dan penuh makna.
Bahkan bagi mereka yang belum memeluk Islam, jika amal kebaikannya dilakukan dengan ketulusan, kejujuran, dan tanpa motif merusak, amal tersebut dapat membawa keselamatan. Sebaliknya, bagi mereka yang mengaku beragama Islam tetapi menjadikan ajaran tersebut sebagai alat untuk menipu, menyebar kejahatan, dan merusak tatanan manusia serta alam semesta, tindakan itu hanya akan menjerumuskan pada kehancuran—baik di dunia maupun di akhirat.
Oleh karena itu, ajaran kebaikan harus menjadi landasan utama dalam setiap perilaku sehari-hari. Inilah yang akan menguatkan keimanan dan memperdalam ketauhidan. Sebab, seberapa pun seseorang memahami Islam, jika tidak diwujudkan dalam perilaku nyata, ilmunya hanya akan menjadi beban yang membawanya kepada kehidupan yang gelap dan jauh dari keselamatan.
Namun, sebaliknya, jika pemahaman itu diiringi dengan pengamalan yang konsisten dan jujur, tidak hanya dirinya yang selamat. Namun, akan mendorong kemajuan umat dan peradaban manusia menuju kehidupan yang lebih baik dan penuh berkah.
Balasan setimpal
Surah Az-Zalzalah secara jelas dan tegas menyatakan bahwa barang siapa mengerjakan kebaikan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya). Dan barang siapa mengerjakan kejahatan sebesar zarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasannya).
Pesan ini memberi pelajaran penting bahwa setiap amal—baik maupun buruk—akan dihitung dan diperhitungkan sebagai nilai dalam kehidupan manusia. Ayat ini bukanlah ancaman, melainkan peringatan luhur yang seyogianya menjadi pedoman hidup bagi setiap insan di manapun berada.
Pengalaman hidup dari generasi ke generasi telah membuktikan bahwa kebaikan selalu membuahkan kebaikan, dan kejahatan pada akhirnya akan berbalik sebagai balasan yang setimpal. Al-Quran, sebagai petunjuk hidup umat manusia, berlaku universal tanpa membedakan jenis kelamin, ras, suku, ataupun tempat tinggal. Bahkan, kebaikan tetap diakui meski datang dari mereka yang belum mengenal Islam atau masih meyakini agama yang bersumber dari hasil ciptaan manusia.
Kebaikan adalah kebaikan, siapa pun pelakunya dan dari mana pun asalnya. Selama mereka adalah makhluk Allah Ta’ala, baik yang terkenal maupun yang tak dikenal, mereka memiliki hak yang sama untuk menerima dan melakukan kebaikan. Nilai kebaikan tidak hanya memberi manfaat bagi diri sendiri maupun orang lain yang menerimanya, tetapi juga akan melahirkan warisan budaya kebajikan bagi generasi mendatang.
Benar adanya dan diakui sebagai fakta yang tak terbantahkan, bahwa sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain, setiap kebaikan yang kita lakukan untuk orang lain sejatinya adalah kebaikan bagi diri kita sendiri. Hal ini dipertegas dalam Surah Al-Isra ayat 7: “Jika kamu berbuat baik, berarti kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri, dan jika kamu berbuat jahat, maka kejahatan itu kembali kepada dirimu sendiri.”
Ayat ini sejalan dengan penjelasan sebelumnya dalam surah Az-Zalzalah tentang balasan atas kebaikan dan keburukan. Artinya, saat seseorang melakukan keburukan kepada orang lain, sejatinya ia sedang mencelakakan dirinya sendiri. Maka dalam kehidupan nyata, keadilan itu sebenarnya hadir dan berjalan secara seimbang.
Salah besar jika seseorang mempertanyakan, “Di manakah keadilan-Mu?” atau “Mengapa Engkau tidak berpihak kepadaku?”, padahal segala sesuatu yang dialami hari ini dan di masa depan adalah cerminan dari apa yang telah diperbuat—buah dari tindakan, pilihan, dan amal yang dilakukan.
Tolok ukur keadilan bukanlah pada jumlah harta atau kekayaan materi yang dimiliki, melainkan pada seberapa banyak amal kebaikan yang telah ditanam. Sebab, amal kebajikan akan berbanding lurus dengan kebahagiaan yang sejati—bukan kesenangan semu yang justru bisa menyiksa jiwa dan raga di kemudian hari.
Pintu utama
Maka dari itu, beramal kebaikan kepada orang lain sejatinya adalah pintu utama bagi kebaikan diri sendiri dan kebaikan bersama. Rangkaian kebaikan yang terus dilakukan akan memberikan dampak positif yang luas, membentuk nilai-nilai luhur yang membangun peradaban beradab. Tanpa kebaikan, peradaban manusia dan alam semesta tidak akan pernah terwujud. Kebenaran pun hanya bisa dicapai melalui kesadaran yang jernih, tanpa menyalahkan pihak lain.
Sesungguhnya, setiap perbuatan akan membawa dampak bagi pelakunya dan bagi orang lain. Bila perbuatan itu lahir dari niat baik, rasionalitas, dan kejujuran, kebaikannya akan terasa oleh semua pihak, serta menjadi amal yang bernilai abadi—selama tidak dikotori oleh keburukan yang merusak dan menghapus nilai amal itu sendiri.
Amal kebaikan yang dilakukan dengan ketulusan dan keikhlasan akan terus berlaku sepanjang masa. Setiap catatan kebaikan yang terukir akan menjadi saksi yang memberikan pertolongan secara adil kelak di hari pembalasan. Maka, momentum Syawal yang membawa kita pada kondisi fitrah, selayaknya dijadikan titik awal untuk menanam dan menumbuhkan amal kebaikan—sebagai pegangan hidup, untuk kebaikan semua, dan untuk selamanya. Amin ya Rabbal ‘alamin. Wallahu a’lam.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat