
Bandung — Tidak sedikit jamaah haji yang berdoa agar dapat menghembuskan napas terakhir di Tanah Suci Makkah atau Madinah.
Keinginan ini bukan sekadar angan, melainkan lahir dari keyakinan mendalam terhadap janji-janji agung dalam ajaran Islam.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Rasulullah SAW menjadi salah satu pendorong utama, “Barang siapa keluar untuk berhaji lalu meninggal, maka ditulis baginya pahala haji hingga hari kiamat. Barang siapa keluar untuk umrah lalu meninggal, maka ditulis baginya pahala umrah hingga hari kiamat. Dan barang siapa keluar untuk berjihad lalu meninggal, maka ditulis baginya pahala jihad hingga hari kiamat.” (HR Ahmad).
Hadis ini menjanjikan pahala yang kekal bagi mereka yang wafat dalam perjalanan ibadah, seolah-olah mereka terus menunaikan ibadah tersebut hingga akhir zaman.
Tak heran, banyak jamaah haji yang memimpikan akhir hidup di Baitullah, tempat suci yang menjadi kiblat umat Islam.
Selain Makkah, Madinah juga menjadi tujuan harapan para jamaah. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mampu meninggal di Madinah, hendaklah ia meninggal di sana, karena aku akan memberikan syafaat bagi orang yang meninggal di sana.” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, dan Baihaqi; disahihkan oleh Al-Albani).
Mulla Ali Al-Qari dalam syarahnya menjelaskan bahwa maksud hadis ini adalah menetap di Madinah hingga ajal menjemput, dengan harapan memperoleh syafaat khusus dari Rasulullah SAW.
Syafaat ini, sebagaimana dijelaskan, mencakup penghapusan dosa bagi yang berdosa dan peningkatan derajat bagi yang taat.
Umar bin Khattab RA bahkan berdoa, “Ya Allah, karuniakan aku syahid di jalan-Mu dan jadikan kematianku di negeri Rasul-Mu,” menunjukkan betapa mulianya harapan ini.
Namun, di balik keinginan mulia tersebut, Islam mengajarkan bahwa hidup dan mati adalah hak prerogatif Allah SWT. Al-Quran menegaskan: “Allah menciptakan kamu, kemudian mewafatkan kamu… Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa.” (QS An-Nahl [16]: 70).
“Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 2).
Ayat-ayat ini mengingatkan bahwa kematian adalah ujian, dan yang terpenting bukan tempat atau waktu kematian, melainkan amal perbuatan yang menyertainya.
Islam sangat menjaga keselamatan jiwa, sebagaimana termaktub dalam maqasid syariah, yaitu hifz an-nafs (perlindungan jiwa). Al-Quran dengan tegas melarang umatnya menjerumuskan diri ke dalam kebinasaan atau bunuh diri, “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS Al-Baqarah [2]: 195).
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS An-Nisa [4]: 29).
Larangan ini menegaskan bahwa keinginan meninggal di Tanah Suci tidak boleh mendorong seseorang untuk mengabaikan keselamatan atau memaksakan kehendak yang bertentangan dengan takdir Allah.
Yang lebih utama adalah mempersiapkan diri dengan amal saleh yang konsisten, sebagaimana firman Allah, “Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan).nya. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan seberat zarah pun, niscaya dia akan melihat (balasan).nya pula.” (QS Al-Zalzalah [99]: 7-8).
Lebih dari sekadar tempat kematian, Islam menekankan pentingnya husnul khatimah—akhir yang baik. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya amalan itu (tergantung). dengan penutupnya.” (HR Al-Bukhari).
Husnul khatimah tidak ditentukan oleh lokasi, melainkan oleh ketaatan dan keikhlasan di akhir hayat. Allah SWT memerintahkan, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS Ali Imran [3]: 102).
Para ulama menasihatkan, untuk meraih husnul khatimah, seseorang harus istiqamah dalam beramal saleh. Amal yang dilakukan secara konsisten akan membentuk kebiasaan baik, sehingga Allah menjemput hamba-Nya dalam keadaan yang diridai.
Keinginan meninggal di Tanah Suci adalah mulia, tetapi yang lebih mulia adalah menjalani hidup dengan penuh ketaatan, di mana pun dan kapan pun kematian datang.
Dengan demikian, marilah kita jadikan keinginan meninggal di Tanah Suci sebagai motivasi untuk memperbanyak amal saleh, bukan sekadar mengejar tempat atau waktu tertentu.
Sebab, yang menentukan nilai seorang hamba di sisi Allah adalah kualitas iman dan amalnya, serta bagaimana ia menutup perjalanan hidupnya dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan kepada-Nya.***
Sumber: muhammadiyah.or.id.