Bandung – Wakil Dekan (Wadek) Fakultas Agama Islam UM Bandung Cecep Taufikurrohman menjadi narasumber dalam acara Gerakan Subuh Mengaji (GSM) Aisyiyah Jawa Barat dengan tema “Purifikasi dan Modernisasi Perspektif Muhammadiyah” belum lama ini. Buya Cecep—sapaan akrabnya—menyampaikan bahwa Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam di Indonesia yang mengkampanyekan reformasi agama, dikenal dengan orientasi keislaman yang modernis dan berkemajuan.
Menurutnya, purifikasi yang dimaksud adalah pemurnian aspek keilmuan. “Di dunia ini tidak ada sesuatu yang lahir dari ruang hampa. Semuanya memiliki asbabunnuzul dan jejak perjalanan yang panjang. Oleh karena itu, Muhammadiyah yang kita kenal sekarang dengan ruh purifikasi dan modernisasi tentu saja lahir dari gagasan panjang yang menginspirasi Kiai Haji Ahmad Dahlan dalam mendirikan Muhammadiyah, salah satunya Imam Muhammad Abduh,” tuturnya.
Buya Cecep menjelaskan bahwa purifikasi merupakan upaya untuk memurnikan akidah dan ibadah dari pengaruh luar Islam, seperti kepercayaan ritual masyarakat lokal agama terdahulu. Gagasan purifikasi Muhammadiyah terdiri dari dua sayap, yakni tajrid dan tajdid. Tajrid berarti purifikasi atau pemurnian, sedangkan tajdid berarti pembaruan.
“Manifestasi dari tajrid adalah mengembalikan keyakinan akidah dan ibadah. Manifestasi tajrid adalah keterbukaan terhadap hal-hal positif, meskipun datangnya dari nonmuslim, agar Islam mampu bertahan menghadapi tantangan. Muhammadiyah bermuara pada sumber utama, yaitu Al-Quran dan sunah, sehingga mampu berselancar di tengah gegap gempita peradaban Barat yang maju, tetapi perlu filter,” ujarnya.
Buya Cecep juga menekankan bahwa upaya pembaruan dalam Islam bertujuan untuk menyesuaikan paham keagamaan dengan perkembangan zaman, seperti kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan peradaban modern. Latar belakang pembaruan ini adalah untuk mengembalikan kemurnian ajaran Islam yang terkontaminasi oleh bidah, taklid buta, khurafat, dan stagnasi pemikiran. Pergerakan pembaruan Islam muncul sebagai respons terhadap krisis yang dihadapi umat Islam.
Lebih jauh, Buya Cecep juga menyinggung bagaimana sepak terjang dan gerak pemikiran dari tokoh pembaharu seperti Syaikh Muhammad Abduh. Pemikiran Syaikh Muhammad Abduh, lanjut Buya Cecep, bertujuan menghilangkan dualisme pendidikan yang terjadi saat itu, khususnya di Al-Azhar.
“Jika Al-Azhar hanya mengajarkan nilai-nilai keislaman, sampai kapan pun Al-Azhar akan menghadapi kesulitan yang luar biasa karena tidak akan bisa menghadapi tantangan zaman. Akan ada masanya Al-Azhar ditinggalkan, sehingga harus dilakukan modernisasi kurikulum dengan cara memasukkan ilmu-ilmu dari Barat, seperti filsafat, logika, geografi, dan sebagainya,” ujarnya.***(WZ)