Kabar PersyarikatanKolom

IPK Tinggi, Skill Rendah: Realitas Pendidikan yang Butuh Perubahan

Oleh: Ace Somantri*

BELUM lama ini muncul sebuah informasi yang menyampaikan pandangan menarik terkait fenomena Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) di perguruan tinggi.

Dalam narasi tersebut, disampaikan sebuah opini bahwa tingginya IPK sering kali menjadi sumber kebanggaan tersendiri bagi mahasiswa yang berhasil lulus dari perguruan tinggi.

Memang benar, kebanggaan dan kepuasan atas capaian akademik tidak hanya dirasakan saat menempuh pendidikan di perguruan tinggi, tetapi juga sejak jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Fenomena ini dianggap sangat berharga dan bermarwah karena pencapaian angka-angka tersebut diraih melalui perjuangan yang tidak mudah, penuh pengorbanan jiwa dan raga.

Waktu dan jarak yang ditempuh dalam proses pendidikan tidak sekadar dilalui begitu saja. Namun, diisi dengan rangkaian aktivitas yang menuntut kekuatan fisik dan mental secara bersamaan, sering kali dalam kondisi penuh tekanan. 

Tidak berhenti di situ, panjang masa yang harus diisi pun tak terlewatkan, bahkan kehadiran fisik menjadi wajib. Panggilan nama satu persatu disebutkan oleh guru maupun dosen setiap awal waktu menjelang pemberian materi bahan ajar.

Kehadiran fisik menjadi penting dalam pembelajaran untuk langsung melihat dan mendengarkan. Hal itu bukan sekedar hadir dan transformasi ilmu pengetahuan, melainkan ada amanah yang dapat ditunaikan.

Aktivitas belajar tersebut dijalani secara rutin setiap hari dengan jadwal yang telah ditetapkan, sekaligus menjadi sarana penanaman nilai-nilai kedisiplinan.

Maka menjadi hal yang wajar jika, pada saat masa studi berakhir, capaian hasil belajar yang diperoleh memberikan rasa kepuasan.

Kepuasan itu bisa berasal dari nilai rata-rata seluruh mata pelajaran di jenjang sekolah, maupun dari nilai kumulatif yang dikonversi dalam bentuk huruf pada setiap mata kuliah di perguruan tinggi.

Indeks Prestasi Kumulatif atau IPK telah menjadi simbol sebuah kesuksesan hasil pembelajaran di perguruan tinggi dengan tingkatan sebutan memuaskan, sangat memuaskan, dan pujian atau cumlaude.

Bagi yang mengalami IPK tertinggi sudah dipastikan merasa bangga dan bahagia, karena hal itu simbol kehebatan yang diraih selama studi yang memerlukan perjuangan yang melelahkan. 

Belakangan, muncul pandangan yang mempertanyakan fenomena IPK tinggi yang dianggap lebih mudah diraih dibandingkan dengan masa lalu. Dahulu, untuk mendapatkan nilai tinggi—baik berupa angka maupun huruf yang mencerminkan predikat sangat baik—diperlukan perjuangan luar biasa.

Kehadiran di kelas dan menyelesaikan tugas saja tidak cukup. Dibutuhkan usaha keras dan konsistensi yang melelahkan secara fisik ataupun mental.

Pada era 1980-an hingga 1990-an, angka di bawah 6 dalam rapor sekolah dasar dan menengah merupakan hal yang lumrah. Nilai tersebut bahkan ditulis dengan tinta merah sebagai penanda khas atas kemampuan akademik yang sesungguhnya dari seorang siswa.

Menariknya, para siswa yang memperoleh nilai merah saat itu tidak merasa terhina atau terpuruk. Mereka menerima kenyataan tersebut dengan lapang dada dan menjadikannya sebagai motivasi untuk belajar lebih giat.

Hal serupa juga terjadi di perguruan tinggi. Nilai C (setara angka 2) atau bahkan D (angka 1) masih dianggap wajar dan diterima tanpa kekecewaan yang berlebihan oleh para mahasiswa.

Kondisi tersebut sangat kontras dengan era saat ini, di mana nilai siswa cenderung tinggi dan seragam. Angka 6 dalam rapor sudah jarang ditemui, bahkan hampir tidak mungkin lagi ada nilai di bawahnya, seolah-olah standar penilaian telah mengalami pergeseran yang signifikan dari waktu ke waktu.

Hal serupa juga terjadi di perguruan tinggi saat ini. Ketika mahasiswa mendapatkan nilai C (setara angka 2), mereka sering kali merasa sangat kecewa, seolah-olah dunia akan runtuh.

Padahal, saat ini rata-rata IPK lulusan perguruan tinggi sudah berada di atas angka 3,50. Dulu, untuk mencapai angka setinggi itu sangatlah sulit dan hanya bisa diraih oleh mahasiswa dengan tingkat kecerdasan yang luar biasa atau superior.

Bergesernya paradigma pendidikan

Paradigma pendidikan saat ini telah mengalami pergeseran dalam memaknai hasil belajar, baik di tingkat dasar, menengah, maupun perguruan tinggi.

Keberhasilan dan prestasi peserta didik kini lebih banyak diukur dari output berupa nilai angka dan huruf secara kuantitatif. Adapun aspek kualitas mental dan moral kerap terpinggirkan dan sulit ditegakkan melalui pendekatan instan dan seragam.

Sikap mental dan moral generasi masa kini berkembang dengan sangat cepat akibat pengaruh media sosial yang begitu kuat.

Respons mereka terhadap stimulus dari media digital berlangsung dalam tempo yang tinggi sehingga pembentukan karakter pun banyak dipengaruhi oleh tren dan informasi yang beredar di platform digital.

Dalam kondisi ini, peran orang tua, guru, ustadz, pengasuh, hingga pembimbing, kalah cepat dibandingkan dengan pengaruh masif aplikasi digital yang membentuk cara berpikir dan bersikap pelajar masa kini.

Fenomena ini membuat generasi muda menjadi sangat rentan terhadap pengaruh negatif dari konten-konten digital yang menyajikan pola hidup instan dan dangkal secara nilai.

Sikap dan moral mereka pun lebih mudah terpapar oleh arus informasi yang tidak selalu mengandung unsur pendidikan yang mendalam atau bernilai luhur.

Saat ini, para pendidik atau pengajar menghadapi tantangan besar karena kalah cepat dalam memberikan stimulasi dan pembelajaran kepada peserta didik di berbagai jenjang pendidikan.

Tak hanya soal kecepatan, mereka juga tertinggal dalam hal metode dan strategi untuk menyampaikan informasi, arahan, serta motivasi secara efektif dan relevan dengan perkembangan zaman.

Selama beberapa dekade terakhir, proses pendidikan mengalami perubahan mendasar yang memengaruhi budaya kehidupan manusia.

Realitas output dan outcome yang diharapkan dalam rumusan kurikulum sering kali tidak selaras dengan fakta di lapangan. Ketidaksesuaian ini juga tampak dalam proses audit mutu, baik audit internal maupun eksternal yang dilakukan oleh lembaga independen.

Sayangnya, pendekatan audit tersebut jarang menyoroti secara mendalam ketercapaian output dan outcome yang berkaitan dengan mutu lulusan sebagai hasil nyata dari penyelenggaraan pendidikan. Ketika dilakukan asesmen lapangan, data hasil tracer study terhadap alumni pun sering diuji hanya melalui wawancara singkat dan instan.

Lebih jauh, audit mutu pendidikan saat ini cenderung lebih menitikberatkan pada aspek administratif. Penilaian kualitas pendidikan lebih difokuskan pada kelengkapan dokumen dan pemenuhan tanggung jawab administrasi, daripada menilai secara mendalam pencapaian substansial dari proses pendidikan yang berlangsung di setiap satuan pendidikan.

Output dan outcome lulusan harus menjadi prioritas utama dalam sistem pendidikan. Seluruh instrumen yang disiapkan oleh penyelenggara pendidikan perlu benar-benar diarahkan untuk menjamin dan memberikan garansi terhadap mutu lulusan di setiap jenjang satuan pendidikan.

Dalam pendekatan Total Quality Management (TQM), penyelenggara dan pengelola pendidikan memiliki tanggung jawab untuk memastikan kualitas lulusan dengan komitmen tinggi.

Garansi mutu kepada para “pelanggan” pendidikan—baik masyarakat, dunia kerja, maupun para lulusan itu sendiri—harus menjadi fokus utama dalam merancang sistem dan proses pembelajaran.

Tujuan utamanya adalah menciptakan kepuasan bagi pengguna lulusan dan menumbuhkan rasa bangga, terhormat, serta bernilai bagi para lulusan itu sendiri.

Oleh karena itu, pengelolaan pendidikan tidak boleh berhenti pada pemenuhan standar administratif semata. Namun, harus menitikberatkan pada pencapaian kualitas lulusan yang benar-benar kompeten, marketable, dan memiliki daya saing tinggi di dunia nyata.

Secara faktual, disadari atau tidak, Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) masih menjadi simbol sementara dari pencapaian akademik mahasiswa saat lulus dari perguruan tinggi.

Namun, penting untuk dipahami oleh seluruh pihak—mahasiswa, dosen, dan sivitas akademika lainnya—bahwa prestasi lulusan tidak boleh hanya diukur dari angka IPK semata.

Prestasi sejati terletak pada sejauh mana lulusan memiliki keterampilan (skill) yang relevan, pengetahuan luas yang mengglobal, serta sikap mental dan moral yang kuat, tangguh, dan berkarakter. Kombinasi inilah yang akan membentuk rasa percaya diri tinggi pada diri lulusan.

Dengan bekal tersebut, lulusan akan mampu berkarya secara mandiri maupun terlibat aktif dalam berbagai sektor industri bergengsi. Mereka dapat melangkah dengan percaya diri tanpa harus mengandalkan koneksi atau membawa pendamping dari kalangan “orang kuat”.

Kepercayaan diri yang dibangun dari kompetensi sejati akan membuat para lulusan menjadi pribadi yang dibutuhkan. Para pengguna atau user akan melihat keterampilan, keahlian, dan karakter mereka sebagai aset berharga yang siap digunakan kapan pun dibutuhkan.

Jika mencermati fenomena IPK lulusan perguruan tinggi saat ini, tampaknya secara faktual sulit dipertanggungjawabkan keterkaitannya secara linear dengan kemampuan, keterampilan, dan keahlian yang dimiliki. Bahkan, dari aspek sikap mental dan karakter moral, banyak yang masih jauh dari harapan berbagai pihak.

IPK kini cenderung menjadi sebatas catatan administratif belaka, sementara di dunia nyata, yang dibutuhkan adalah hardskill dan softskill yang dapat dibuktikan secara konkret.

Meski demikian, hal ini bukanlah bentuk tuduhan negatif terhadap realitas yang ada. Namun, sebuah otokritik yang perlu direnungkan bersama sebagai cermin dari kondisi pendidikan kita yang masih belum sejalan dengan kemajuan individu, masyarakat, bangsa, dan negara.

Yang lebih memprihatinkan, justru semakin tinggi status dan prestasi akademik seseorang, tidak selalu berbanding lurus dengan kemampuannya. Bahkan, tak jarang sikap mental dan moral yang ditunjukkan dalam kehidupan sehari-hari jauh dari nilai-nilai yang patut diteladani.

Ironisnya, dalam beberapa kasus, perilaku mereka yang memiliki gelar akademik tinggi bisa lebih buruk dari makhluk tak berakal. Kenyataan ini seharusnya menjadi pengingat bahwa pendidikan sejati tidak hanya tentang angka atau gelar, tetapi tentang integritas dan kemanusiaan.

Pada akhirnya, hanya Allah Ta’ala yang memiliki kuasa untuk membimbing dan menjamin perubahan bagi siapa pun yang sungguh-sungguh berupaya memperbaiki diri. Wallahu a’lam.

*Wakil Ketua PWM Jawa Barat

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button