
Oleh: Ace Somantri*
HAJI ibadah yang sangat dinanti oleh semua umat muslim di dunia, di mana pun mereka bangsa dan negaranya. Cita-cita dan keingian tersebut dambaan setiap orang yang beriman, baik berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan.
Haji ibadah rukun Islam yang dikenal masyarakat luas, dari sejak dini hampir semua umat muslim hafal urutan rukun Islam, satu syahadat, dua salat, tiga zakat, empat puasa, dan lima ibadah haji. Pada umumnya, semua umat muslim dari anak-anak hingga orang tua lanjut usia, dari urutan tersebut dipastikan sudah menunaikan atau melakukannya, kecuali ibadah haji sebagai rukun Islam kelima.
Hal demikian bukan orang muslim tidak mau menjalankan atau menunaikannya, melainkan ada hal yang benar-benar dengan niat yang dipersiapkan dengan baik dan sungguh-sungguh. Bahkan juga bukan sekedar mempersiapkan seadanya, apalagi tanpa dipersiapkan atau tanpa niat sama sekali. Semakin tidak mungkin terwujud, lebih sangat buruk dan berpredikat munkarat ketika mengingkari ajaran ibadah haji adalah sekadar wisata religi.
Haji dambaan umat muslim yang super membahagiakan, bahkan bila perlu seluruh harta yang dimiliki telah memenuhi, hampir dipastikan akan dijual atau ditukarkan menjadi sesuatu yang membahagiakan tersebut. Namun, faktanya ibadah haji tidak sekadar niat sungguh-sungguh, apalagi tidak ada niat sama sekali.
Tidak sedikit orang muslim niat berhaji, segalanya sudah disiapkan dengan berbagai persiapan yang matang hampir tidak ada kekurangan. Akan tetapi, ibadah haji berbeda dengan ibadah lainnya seperti salat dan zakat serta ibadah puasa. Ibadah haji ada waktu khusus dengan ketentuan-ketentuan yang berbeda dengan ibadah lainnya.
Hal demikian bukan sesuatu yang sulit dan dipersulitkan, melainkan ada nilai-nilai lain yang tersembunyi di balik perbedaan tersebut ada hal yang belum didapat dan diungkap secara detail dan rinci dari ayat-ayat Ilahi Rabbi yang termaktub dalam mushaf-mushaf yang beredar di tangan umat muslim maupun ayat-ayat kauniah yang masih banyak misteri di balik segala dinamika alam semesta yang sangat luas hingga mata pun tak mampu melihat dan memandangnya.
Terlepas itu semua, umat muslim beriman hanya satu kata, segera semungkin mampu beribadah haji ke Baitullah Makkah Al-Mukaramah. Ada catatan menarik dari ungkapan Bang Dahnil Anzar Simanjuntak di forum-forum rapat besar resmi di lingkungan pemerintah maupun di beberapa pengajian masyarakat muslim, beliau menjelaskan hal ihwal terkait haji di Indonesia, khususnya yang menyangkut pengelolaan manajemen penyelenggaraan haji di Indonesia.
Di antaranya yang sering kali diucapkan yaitu, “Trisukses Haji”, istilah tersebut jika dipahami menjadi bagian dari visi dan misi kelembagaan pemerintah yang berperan mengelola haji. Trisukses haji yang pertama adalah penyelenggaraan haji harus sukses ritual, dipahami secara ilmiah bahwa haji salah satu dari sekian kewajiban ibadah kepada Allah Ta’ala bersifat ta’abudi yang memiliki kaifiat khusus dalam praktiknya. Sehingga, dilihat dari waktu maupun tempat pelaksanaannya, benar-benar ada ketentuan mutlaq yang tidak dipindah waktu dan juga tempatnya. Hal demikian semata-mata menjadi salah satu ibadah ta’abudi yang bersifat fardiah bagi setiap umat muslim di muka bumi.
Kesuksesan ritual ditentukan oleh umat muslim itu sendiri, sekalipun hak mutlak penilaian ada ditangan Allah Ta’ala sebagai pemilik segala hal yang ada dunia alam semesta. Akan tetapi, agar ibadah haji dapat mampu mencapai tujuan yang dikehendaki oleh-Nya, ada beberapa kriteria sukses ritual, yaitu umat muslim yang hendak menunaikan ibadah haji harus terlebih dahulu mengetahui dan memahami ilmu pengetahuan tentang haji secara ilmiah terkait hal ihwal kaifiat haji dalam praktiknya.
Mulai dari mengetahui dan memahami syarat dan rukun haji secara detail dan rinci, jangan sampai tidak mengetahui yang berakibat batal dan fatal terhadap nilai keabsahan atau kesahan ibadah haji. Benar-benar dikupas tuntas, satu per satu dari syarat pertama hingga syarat terakhir. Seperti syarat pertama yang mensyaratkan ibadah haji harus berstatus kepercayaannya keagamaannya harus agama Islam, hal ini penting dipahami bahwa yang dimaksud beragama Islam cukup dengan bukti melalui katu tanda penduduk atau harus ada bukti lain? Sehingga sukses ritual benar-benar tercapai, tidak sekadar sah dalam ibadahnya jika sedari awal dipahami dengan mendalam dan komprehensif.
Sukses ritual ibadah haji dikenal di masyarakat muslim dalam term fikih haji istilahnya disebut mabrur dan mabrurah yang bermakna ibadah haji seseorang diterima oleh Allah Ta’ala dengan terpenuhinya rukun dan syarat haji. Hal itu benar adanya, jika syarat dan rukunnya secara formal kaifiat dipenuhi dan begitupun pemaknaan nilai-nilai yang terkandung dalam rangkaian praktiknya mampu menetralisir sekaligus mendetoks keburukan atau dosa-dosa yang ada dalam jiwa raganya.
Apabila sekadar memenuhi syarat dan rukun formal, sukses ritual hanya berhenti pada tingkat keabsahan atau nilai kesyahan semata. Sementara sukses ritual yang sebenarnya dimaksud mabrur dan mabrurah, selain terpenuhi rukun, syarat, dan wajib haji juga terjadinya detoksifikasi perilaku buruk yang menodai jiwa raga bersih dan di kemudian hari pasca ibadah tidak dikotori kembali, dengan kata lain seusai dengan ibadah haji ada perubahan sikap perbuatan lebih baik atau lebih salih. Hingga perbuatan-perbuatan buruk sering dilakukan sebelum ibadah haji dijauhi sejauh-jauhnya dan ditinggalkan tanpa jejak, dan diganti dengan perbuatan-perbuatan yang memenuhi syariat Islam secara baik dan benar.
Sukses ritual atau mabrur dalam haji memang tidak dalam kata-kata, melainkan pada pembuktian nyata dalam tingkah laku nyata di kehidupan sehari-hari. Saat ini hingga ribuan, bahkan jutaan orang berdesak-desakan, akibat berjubel banyak orang beribadah secara visual tak terbayangkan jika harus setiap saat seperti waktu salat. Sulit rasanya untuk mencapai sukses ritual, visi, dan misi ini sepintas mudah dipenuhi, namun dalam praktiknya ini benar-benar tantangan ke depan bagi penyelenggara haji Indonesia khususnya.
Membawa umat puluhan hingga ratusan ribu umat muslim untuk menunaikan ibadah haji. Ikut bertanggung jawab akan kesuksesan ritual, bukan sekadar mengantarkan kelokasi ibadah, melainkan juga selain mengantarkan ke lokasi ibadah atau dropship jamaah tempat yang ditentukan, yaitu mengawal, mendampingi, membantu, dan yang lainnya terhadap jamaah untuk memenuhi syarat dan ketentuan haji yang telah mengamanahkan kepada penyelenggarannya kepada pemerintah melalui badan atau kementerian terkait yang sudah ditunjuk oleh negara melalui undang-undang yang sudah berlaku.
Sukses ritual ibadah haji menjadi mabrur dan mabrurah doa yang senantiasa dipanjatkan oleh jamaah haji di seluruh dunia. Dalam praktiknya, beribadah haji banyak hal pelajaran atau ibrah yang menjadi titik balik atau juga menjadi pemantik keasadaran diri sebagai makhluk yang tak memiliki kekuatan dan juga tak berdaya. Nilai-nilai dasar ibadah haji tidak sekadar memenuhi panggilan dan seruan Allah Ta’ala, melainkan seruan dan panggilan yang masuk antrian untuk menguji diri melalui testing alam semesta untuk scaning berbagai perbuatan umat muslim sebelum ajal menjembutnya.
Harus bersyukur benar jika umat muslim, mengalami ibadah haji sebelum meninggal ajal kembali Sang Khalik. Pasalnya, bagi yang pernah beribadah haji langsung sebenarnya memiliki catatan laporan hidup di dunia, baik laporan keburukan maupun kebaikkannya. Sehingga jika benar-benar menyadari dari hasil scaning, seharusnya mampu mengubah diri menjadi baik hingga terus membaik sampai ajal menjemputnya. Dari data scaning saat setelah berhaji, sangat yakin keterangan hasil dalam catatan pemeriksaan di laboratorium milik Allah Ta’ala, pada umumnya umat muslim lebih banyak keburukan ketimbang kebaikannya. Wallahu’alam.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat