
Di tengah hiruk pikuk dunia modern, di mana gawai menggantikan waktu bercakap, dan algoritma media sosial sering kali lebih berkuasa dari nurani, ada satu lembaga yang tetap berdiri teguh menjaga denyut moral bangsa: pondok pesantren.
Warisan yang Bukan Sekadar Tradisi
Pesantren bukan sekadar tempat belajar agama. Ia adalah laboratorium kehidupan — tempat di mana generasi muda ditempa bukan hanya untuk pandai membaca kitab, tapi juga untuk peka terhadap realitas sosial.
Dari pesantrenlah lahir tokoh-tokoh besar: KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, hingga para ulama dan pemimpin muda yang kini berperan di berbagai lini masyarakat.
Dalam sejarah perjuangan Indonesia, pesantren bahkan menjadi benteng perlawanan terhadap penjajahan— bukan dengan senjata, tapi dengan ilmu dan semangat kebangsaan.
Pendidikan yang Menyentuh Akar
Ketika pendidikan formal sering terjebak pada nilai angka dan ujian, pesantren justru mengajarkan kehidupan yang bernilai.
Santri belajar tentang keikhlasan, kemandirian, kedisiplinan, dan empati.
Di banyak pesantren, para santri hidup sederhana — bangun sebelum fajar, belajar hingga larut, dan tetap saling menolong di tengah keterbatasan.
Inilah yang membuat lulusan pesantren memiliki daya tahan moral dan sosial yang tinggi. Mereka tak hanya siap menghadapi ujian sekolah, tapi juga ujian hidup.
Pesantren dan Tantangan Zaman
Namun, bukan berarti pesantren tanpa tantangan. Di era digital, pesantren dituntut untuk beradaptasi tanpa kehilangan jati diri.
Kasus kekerasan, pengelolaan bangunan yang belum standar, hingga narasi negatif di media sering kali menodai citra pesantren — padahal akar masalahnya sering bersifat struktural: kurangnya dukungan, pengawasan, dan pembinaan berkelanjutan.
Oleh karena itu, peran pemerintah dan masyarakat sangat krusial. Perlu ada perhatian serius dalam aspek: Legalitas bangunan dan keamanan santri, Pelatihan bagi pengasuh dan tenaga pendidik, Akses literasi digital dan ekonomi kreatif bagi santri.
Pesantren Sebagai Pusat Inovasi Umat
Bayangkan jika setiap pesantren menjadi pusat pemberdayaan ekonomi dan digital berbasis nilai-nilai Islam.
Santri belajar mengaji, tapi juga belajar coding, kewirausahaan, pertanian modern, dan manajemen sosial.
Bukan mustahil pesantren menjadi inkubator moral dan inovasi — mencetak generasi yang tak hanya saleh, tapi juga solutif.
Sudah ada banyak contoh: Pesantren Al Ittifaq (Bandung) sukses menjadi pelopor agrobisnis santri Pesantren Tebuireng dan Gontor membuka jalan bagi pendidikan integratif modern. Dan kini banyak pesantren di pelosok mulai mengembangkan startup syariah dan media dakwah digital.
Menjaga Akar, Menumbuhkan Sayap
Di tengah arus globalisasi, pesantren ibarat pohon besar yang akarnya menghujam pada nilai keislaman dan kebangsaan, sementara rantingnya menjangkau masa depan.
Menjaga pesantren berarti menjaga jiwa Indonesia itu sendiri — jiwa yang ramah, toleran, dan beradab.
Karena bangsa yang besar bukan hanya ditentukan oleh banyaknya gedung sekolah modern, tapi oleh kuatnya lembaga yang menanamkan akhlak dan kebijaksanaan. Dan itu, sudah dilakukan pesantren sejak berabad-abad lalu.
Penulis: Yusuf Khairul Basyar (Ketua Bidang Dakwah & Pengkajian Agama PRPM Jatibening Jaticempaka)







