
“Kerukunan yang Dipalsukan: Kami Bukan Daun yang Gugur dari Pohon Peradaban”
Sukabumi — Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, Kami sampaikan pernyataan ini bukan untuk membuat gaduh, tetapi untuk mengingatkan bahwa kerukunan sejati tidak bisa dibangun dengan meniadakan yang berbeda.
Kami, Forum Pemuda Lintas Agama Kota Sukabumi, menyampaikan kecewa, gusar, secara etis, atas tidak dilibatkannya forum kami dalam deklarasi kerukunan umat berbangsa yang digelar oleh Wali Kota Sukabumi dalam Milad ke-50 Majelis Ulama Indonesia.
Bagi kami, ini bukan sekadar soal undangan dan ceremonial. Ini adalah soal cara pandang, cara membangun bangsa, cara memaknai keragaman.
Kerukunan bukan panggung selebrasi politik. Ia adalah ruang dialog, keberanian untuk mendengar, dan ketulusan melibatkan semua suara—bahkan yang paling sunyi sekalipun.
Kerukunan Tanpa Akar adalah Kebohongan yang Dirapikan
Ketika yang diundang hanyalah yang nyaman bagi kekuasaan, dan yang bekerja di akar rumput dikesampingkan, maka kita bukan sedang membangun peradaban—tetapi sedang menyusun sandiwara.
Kita belajar dari sejarah, bahwa bangsa ini dibangun bukan oleh satu warna, satu agama, atau satu suara. Indonesia lahir dari percakapan yang lama dan rumit antara banyak keyakinan, banyak identitas, banyak jiwa.
Maka menggelar deklarasi “kerukunan” tanpa menghadirkan elemen-elemen perbedaan, justru adalah pengingkaran terhadap semangat bangsa itu sendiri.
Apakah kerukunan bisa dideklarasikan tanpa menghadirkan mereka yang hidup dalam perbedaan?Apakah suara yang tak dekat dengan panggung akan selalu dianggap tak penting?
Filsafat, Etika, dan Kemarahan yang Bermoral
Ali Syariati, pemikir dari Persia, pernah berkata “Ketika agama kehilangan sisi pembebasannya, maka ia akan diperalat oleh status quo.” Hari ini, kami menyaksikan bagaimana semangat toleransi justru dijadikan kosmetik politik, dan itu sungguh menyedihkan.
Emmanuel Levinas mengingatkan kita tentang pentingnya “memandang wajah Liyan”—yaitu yang berbeda dari kita, sebagai kunci dari tanggung jawab moral. Tapi hari ini, kami tidak dipandang. Kami tidak diajak bicara. Kami bahkan tidak disebut.
Buya Hamka dalam tafsirnya pernah menulis, “Manusia yang adil ialah manusia yang tidak memihak kecuali pada kebenaran.” Maka hari ini, kami memihak pada kebenaran, bahwa kerukunan tidak bisa dipalsukan melalui seremoni yang eksklusif.
Kami Tidak Menolak, Tapi Menolak Ditiadakan
Kami tidak sedang meminta posisi, kami tidak sedang memohon diundang. Kami hanya menolak menjadi objek dari narasi yang seolah menyatukan, padahal membungkam. Kami menolak disebut sebagai bagian dari kerukunan jika kami sendiri tidak pernah diajak menyusunnya.
Kami tahu, sejarah selalu menyimpan suara-suara yang disingkirkan. Tapi kami memilih untuk berdiri tegak. Kami bukan daun gugur yang ditiup angin kekuasaan. Kami adalah akar yang terus merawat harmoni, bahkan ketika batangnya berkhianat.
Sekali lagi deklarasi dengan menampilkan potret kami sebagai ketua Forum pemuda Lintas Agama yang tidak pernah diajak diskusi tentang merumuskan atau upaya menjaga nilai-nilai kesatuan dan kerukunan bagi kami walikota Nir empati dan mengkerdilkan generasi penerus Lintas agama sebagai pengemban ruh dan cita-cita peradaban yang termaktub dalam pembukaan Undang-undang dasar.
Ketua FORMULA Kota Sukabumi
Sutardi, S.AP.