Sumber Gambar: Pribadi.
Bandung, Muhammadiyah Jabar– Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Barat mengadakan Kajian Intensif pada Hari Sabtu, 22 Ramadan 1443 H/23 April 2022 M, pukul 09.00 sampai 23.00 wib, di Aula Masjid Raya Mujahidin Jl. Sancang No. 6 Bandung. Hadir pada kajian tersebut anggota PWM, Ketua dan Sekretaris Muhammadiyah se-Jabar, Ketua dan Sekretaris Aisyiyah se-Jabar, Pimpinan Majelis dan Lembaga Tingkat Wilayah, Pimpinan Ortom Tingkat Wilayah, dan Pimpinan AUM Tingkat Wilayah.
Kajian tersebut menghadirkan empat pemateri, yaitu Prof. Afif Muhammad, Dr. Ayi Yunus, M.Ag., Cecep Taufiqurrohman, MA, Ph.D., dan Dr. Dadang Syaripudin. Acara dibuka oleh Ketua PWM, Ir. H. Suhada yang kemudian dilanjutkan kajian oleh para pemateri.
Dr. Afif Muhammad membahas tentang relasi antara Tuhan, alam, dan manusia. Menurutnya, jika seseorang tidak mengenal Tuhan, maka semuanya akan sia-sia. Tuhan itu adalah Pencipta alam dan manusia, maka disifati Al-Khaliq. Sifat-sifat Tuhan tidak dapat diketahui jika tidak ada alam dan manusia. Di samping menciptakan alam dan manusia, iblis juga diciptakan-Nya. Relasi antara manusia dan iblis merupakan relasi permusuhan abadi.
Dr. Afif selanjutnya menguraikan bahwa tugas utama manusia adalah Khalifah. Beliau memaknai Khalifah sebagai orang yang berjalan di belakang orang lain dan akan menggantikan orang lain ketika perjalanannya berhenti. Beliau pun mengingatkan agar berhati-hati terhadap pemikiran yang memisahkan agama dan bidang kehidupan lain, alias pemikiran sekuler. Pemikiran sekuler dinilainya sebagai usaha yang pada awalnya berusaha untuk memisahkan, tapi akhirnya justru akan berupaya untuk meninggalkan. Kaum sekuler berusaha untuk memisahkan agama dan bidang kehidupan lain, yang endingnya misi mereka menghilangkan agama dari kehidupan manusia.
Dalam perkembangan sekarang ini, ada yang disebut saintifikasi ajaran Islam. Artinya, menggali dan mengembangkan aspek-aspek sains yang ada dalam Islam. Islam, terutama sumber hukum utamanya Al-Qur’an tidak mungkin bertentangan dengan sains. Bahkan dalam Al-Qur’an banyak ditemukan isyarat-isyarat tentang sains (ilmu pengetahuan dan teknologi).
Pemateri berikutnya adalah Dr. Ayi Yunus, M.Ag. Beliau mengetengahkan materi tentang posisi Muhammadiyah di antara madzhab fikih klasik dan kontemporer.
Menurut Kang Ayi, begitu sapaan beliau, sejak awal kemunculannya, Muhammadiyah memang dianggap asing (agama baru). Pengalaman beliau ketika kecil mengikuti pesantren kilat di daerah Cikedokan Singaparna, di saat berangkat untuk Sanlat sering dicibir oleh teman-temannya bahwa dia akan mengikuti agama baru, yaitu Muhammadiyah.
Maka tak heran, beliau mengutip sebuah hadist yang beliau dengar dari Pimpinan Ponpes Muhammadiyah Darul Arqam Garut, Alm. K.H. Miskun, bahwa Rasulullah saw. bersabda,”Islam itu awalnya asing dan akan kembali menjadi asing seperti permulaan. Maka berbahagialah bagi yang dianggap asing, yaitu orang-orang yang berbuat baik disaat orang lain berada dalam kerusakan.”
Muhammadiyah itu tidak mengikat diri pada satu madzhab, tetapi pendapat para imam madzhab dapat dijadikan rujukan atau referensi (pertimbangan) dalam memutuskan suatu masalah di Muhammadiyah. Muhammadiyah itu tidak bermazhab tapi tidak anti madzhab. Tentu pendapat madzhab yang dijadikan rujukan atau pertimbangan oleh Muhammadiyah adalah yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Seiring dengan terjadinya pembaharuan Islam di Timur Tengah, yang salah satu jargonnya adalah kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka makna kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah itu adalah: 1) beragamalah berdasarkan sumber yang otentik, terutama dalam hal aqidah dan ibadah mahdoh, 2) memilah antara yang mutlak dan dinamis-relatif (adaptif), 3) pintu ijtihad selalu terbuka.
Para tokoh/imam mazhab sendiri sebenarnya tidak memproklamirkan diri sebagai madzhab dan tidak merasa pendapat dirinya yang paling benar. Bahkan mereka berpendapat seperti ini:
a. Imam Abu Hanifah: jika ada pendapatku yang berbeda dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.
b. Imam Maliki: jika ada pendapatku yang tidak sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah.
c. Imam Syafi’i: jika pendapatku menyalahi Sunnah Rasul, maka ikutilah Sunnah Rasul dan tinggalkanlah pendapatku.
d. Imam Hambali: janganlah kau taqlid. Ikutilah mereka imam Hanafi, Maliki, Syafi’i jika sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Yang dikembangkan oleh Muhammadiyah bukanlah madzhab, tapi manhaj. Dalam putusan tarjihnya Muhammadiyah selalu mengembangkan metodologi bayani (metode berpikir berdasarkan teks Al Quran dan As-Sunnah), burhani (metode berpikir berdasarkan runtutan nalar logika), dan Irfani (metode berpikir berdasarkan pendekatan intuisi dan pengalaman langsung atas spiritualitas beragama).
Prof. Din Syamsuddin mengembangkan tujuh nilai atau aspek Islam wasatiyyah (moderat), yaitu: tasamuh (toleransi), ‘itidal (adil), tawazun (keseimbangan), syura (bermusyawarah), islah (melakukan kebaikan), qudwah (pelopor/mengambil inisiatif, contoh, tiruan yang baik), dan muwatonah (kewarganegaraan).
Kaitannya dengan madzhab kontemporer seperti Salafi dan Wahabi, tujuan mereka sebenarnya ada yang sama dengan Muhammadiyah, yaitu purifikasi atau pemurnian. Pemurnian di Muhammadiyah itu pada aspek aqidah dan ibadah, sedangkan pada Salafi cakupannya lebih luas lagi, bukan hanya pada dua bidang itu.
Wahabi memurnikan dari perilaku syirik dan bid’ah. Wahabi menolak demokrasi. Muhammadiyah tidak identik dengan Wahabi apalagi dengan Salafi. Jika ada misi Muhammadiyah yang sama dengan Wahabi dan Salafi, jangan dimaknakan Muhammadiyah itu Wahabi atau Salafi. Banyak yang berbeda antara Muhammadiyah dan Wahabi-Salafi.
Memperkuat apa yang Dr. Ayi sajikan, Kyai Cecep Taufiqurrohman membedah lebih detail perbedaan itu dan dikaitkan dengan pemahaman ilmu kalam, filsafat serta tasawuf.
Pemateri terakhir disampaikan oleh Dr. Dadang Syaripudin yang menguraikan perbedaan antara kriteria hisab Muhammadiyah dengan Kemenag (MABIMS) dalam penetapan awal bulan Qomariyah. Kata Dr. Dadang, Muhammadiyah tetap konsisten atau Istiqomah dengan hisab dari dulu sampai sekarang, dan belum pernah terjadi hisab Muhammadiyah melenceng. Selalu tepat.
Tidak akan ada perubahan dalam metode penentuan awal bulan Qomariyah. Muhammadiyah tidak memiliki unsur dipengaruhi oleh keputusan pemerintah, Muhammadiyah selalu independen dalam menentukan awal bulan Qomariyah, terutama dalam hal penentuan Awal Ramadan dan Idul Fitri.
Namun demikian, Muhammadiyah tetap menghargai ormas lain dan pemerintah jika terjadi perbedaan dalam penentuan awal bulan Qomariyah. Sikap Muhammadiyah dari dulu sampai sekarang tidak memaksakan kehendak, selalu menjunjung tinggi menghormati dan menghargai perbedaan.
Penulis berita: Ilam Maolani
Editor: Moh Aqbil Wikarya Abdul Karim