Oleh: Muhsin MK
Menjadi pemimpin tidak serta merta langsung pintar dan bisa. Ada proses yang harus dilaluinya. Pemimpin yang tanpa proses menjadi instan.
Kepemimpinannya tidak memberikan pengaruh apa-apa pada orang-orang yang dipimpinnya. Mereka tidak dapat menjadi tuntunan.
Mereka justru menjadi tontonan. Apalagi yang sama sekali tidak punya pengalaman dalam berorganisasi. Maka belajar jadi pemimpin itu urgent.
Para nabi sebelum menjadi pemimpin umatnya belajar lebih dahulu. Umumnya mereka belajar pada saat menggembala domba. Menggembala domba saja tidak mudah. Apalagi domba yang digembalakan dalam jumlah yang banyak.
Sebagai pengembala dia harus mampu menjaganya tetap bisa makan dengan baik di padang luas. Dia juga harus mampu mengendalikan agar dombanya tidak hilang dan kembali pulang dalam keadaan tak berkurang. Dombanya tetap lengkap saat di kandang.
Di lingkungan Muhammadiyah dan Aisyiyah sudah melembaga bahwa pemimpin itu yang benar-benar sudah berpengalaman.
Dalam menentukan kepemimpinannya berdasarkan track record calon pemimpin dalam persyarikatan. Umumnya berproses dari bawah naik ke atas. Oleh karena itu, pemimpin Persyarikatan adalah orang-orang yang merasakan berjuang dan mengabdi dari bawahan.
Pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah benar benar kader original bukan titipan dari siapa pun. Kecuali titipan Allah.
Namanya pun sudah dikenal sebelum dipilih dan ditetapkan sebagai pemimpin persyarikatan. Bahkan keluarga, istri, dan anak anaknya sudah diketahui warga persyarikatan. Umumnya menjadi suri teladan dalam lingkungan organisasi dan masyarakatnya.
Sebagai pemimpin yang berasal dari bawah sudah memahami permasalahan yang dihadapi oleh persyarikatan.
Program, aktivitas, dan amal usaha telah diketahui seluk-beluk tantangan, hambatan, dan peluang yang dihadapinya.
Kepercayaan anggota dan jamaah persyarikatan akan diemban dengan penuh tanggung jawab hingga akhir masa bakti atau periodisasinya selesai.
Sosok pemimpin yang sukses adalah mereka yang berhasil membawa organisasinya lebih maju dan berkembang dari sebelumnya. Termasuk aktivitas dan amal usaha yang diwujudkannya.
Dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah juga demikian. Keberhasilannya akan dilihat dari kemampuannya memimpin persyarikatan lebih baik dan maju lagi, termasuk amal usahanya semakin bertambah dan meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitasnya.
Tentu setiap pemimpin punya mimpi yang ingin diwujudkan. Mimpi itu harapannya ke depan agar organisasi yang dipimpinnya lebih maju dan berkembang menjadi besar. Kepemimpinannya dirasakan maslahat dan manfaatnya bagi orang-orang yang dipimpin dan masyarakat lingkungannya. Demikian pula pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah memiliki mimpi yang sama. Umumnya berharap agar persyarikatan menjadi pusat keunggulan dan berkemajuan.
Kemajuan Muhammadiyah dan Aisyiyah pun sudah dapat diukur dari kerja keras, ikhlas, cerdas, dan kerja nyata pemimpinnya dalam mengelola amal usaha.
AUM dan AUA yang digerakannya tidak hanya maju dan berkembang secara kuantitatif, tetapi juga secara kualitatif. Perguruan tinggi dan rumah sakit menjadi salah satu barometer yang terlihat jelas. AUM dan AUA yang dibangun seakan saling berlomba, ber-fasbiqul khairat guna mencapai keunggulan dan berkemajuan, baik di Indonesia maupun di tingkat dunia.
Tentu masih banyak mimpi pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah, sebagaimana pemimpin lainnya di dunia yang ingin tercapai. Mereka tentu ingin bermimpi seperti Nabi Yusuf AS.
Mimpinya sungguhan, lalu menjadi kenyataan. Menguasai negeri Mesir yang hartanya melimpah, subur, dan makmur. Baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Namun, pada tiap zaman akan berbeda tantangan, hambatan, dan peluang yang dihadapinya.
Walau apa pun wujud tantangan dan hambatan yang dihadapi oleh para pemimpin, termasuk dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah, pasti ada jalan keluar dan solusinya (Al-Insyirah: 5-6). Oleh karena itu, setiap pemimpin harus benar-benar “mimpin” atau memimpin dengan baik, benar, dan serius. Dalam arti mereka benar-benar dan sungguh-sungguh dalam mengurus dan mengelola lembaga dan orang-orang yang dipimpinnya dengan ikhlas, jujur, istikamah, dan amanah.
Berbagai peluang dan kesempatan yang ada harus dimanfaatkan oleh pemimpin Muhammadiyah dan Aisyiyah dengan sebaik baiknya. Sebagaimana Nabi Sulaiman AS memanfaatkan peluang untuk mengislamkan Ratu Balqis dari Kerajaan Saba dan rakyatnya yang menyembah api. Bahkan Nabi Sulaiman AS dikenal sebagai pemimpin yang mampu bukan hanya memimpin manusia, melainkan setan, jin, dan hewan yang menjadi pembantu dan bala tentaranya (An-Naml: 17).
Meskipun tidak harus sama seperti para nabi, minimal seorang pemimpin dalam Muhammadiyah dan Aisyiyah mampu memimpin diri sendiri, keluarga, organisasi, jajaran pengurus, amal usaha, anggota, dan jamaahnya. Selain itu, mereka juga harus siap dalam mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di dunia dan akhirat.
Dengan demikian perlu lengkap kemampuan seorang pemimpin, apalagi dalam organisasi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Terutama kemampuannya dalam memimpin dan menggerakkan roda organisasi serta dalam menghidupkan amal usaha masing-masing untuk mencapai kejayaan dan peradaban Islam yang berkemajuan di masa depan. Wallahu ‘alam.***