Kabar Persyarikatan

Pandangan Muhammadiyah Mengenai Gratifikasi

Bandung – Di tengah maraknya kasus korupsi, sering muncul pertanyaan mengenai hukum menerima gratifikasi atau “tips” dari seseorang yang kemudian terbukti terlibat dalam tindakan kriminal atau suap. Pertanyaan ini relevan tidak hanya dalam konteks hukum positif tetapi juga dalam pandangan syariah Islam, yang tegas membedakan antara harta halal dan haram.

Dalam Islam, menerima gratifikasi yang asal-usulnya tidak jelas dianggap boleh selama tidak ada indikasi kuat bahwa harta tersebut berasal dari sumber haram. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surah Al-Maidah ayat 101, yang menyarankan agar umat Islam tidak menanyakan hal-hal yang dapat menimbulkan kesulitan jika dijawab. Dengan kata lain, jika sebuah pemberian tampak baik dan halal secara lahiriah, maka boleh diterima dan dimanfaatkan.

Namun, situasinya berbeda jika ada kecurigaan bahwa pemberian tersebut mungkin berasal dari sumber haram seperti judi, penipuan, atau suap. Dalam hal ini, kehati-hatian menjadi sangat penting. Islam menekankan perlunya meneliti asal-usul harta yang diterima. Jika kecurigaan tidak bisa dihilangkan, maka lebih baik menolak atau mengembalikan pemberian tersebut kepada pemberi, atau jika perlu, melaporkannya kepada pihak berwenang.

Islam memiliki pandangan yang sangat tegas mengenai suap, yang kini lebih dikenal sebagai gratifikasi. Gratifikasi yang diterima oleh pejabat atau orang yang memiliki otoritas dapat dikategorikan sebagai suap jika ada maksud tersembunyi di balik pemberian tersebut. Suap adalah harta haram dalam Islam karena cara mendapatkannya melibatkan penipuan, ketidakadilan, dan pengkhianatan terhadap amanah.

Harta haram dalam Islam dibagi menjadi dua kategori utama: harta yang haram karena sifatnya, seperti khamr dan babi, serta harta yang haram karena cara memperolehnya, seperti hasil curian, riba, atau suap. Suap termasuk dalam kategori kedua; meskipun secara fisik halal, karena cara mendapatkannya tidak sah, maka harta tersebut dianggap haram.

Jika seseorang menerima harta dari sumber yang tidak diketahui dan kemudian terbukti bahwa harta tersebut berasal dari tindakan kriminal seperti korupsi atau suap, maka penerima wajib mengembalikan harta tersebut.

Sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Salat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan tidak pula sedekah hasil korupsi.” Ini menegaskan bahwa harta yang diperoleh dengan cara tidak sah tidak akan membawa berkah, bahkan jika digunakan untuk sedekah atau amal baik sekalipun.

Oleh karena itu, jika diketahui bahwa harta yang diterima berasal dari sumber haram seperti korupsi atau suap, maka penerima memiliki kewajiban untuk menolak atau mengembalikannya kepada pihak yang berhak, yaitu negara atau masyarakat yang dirugikan. Uang hasil korupsi atau suap, meskipun telah berpindah tangan atau dicuci (money laundering), tetap wajib disita dan dikembalikan kepada negara.

Dalam perspektif Islam, menerima harta dari sumber haram tidak hanya mendatangkan dosa, tetapi juga menuntut tanggung jawab moral untuk mengembalikan harta tersebut kepada pemiliknya yang sah. Wallahu a’lam bish-shawab.***

___

Sumber: muhammadiyah.or.id

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button