
Yogyakarta — Anggota Lembaga Pondok Pesantren Pimpinan Pusat Muhammadiyah (LP2 PPM) Cecep Taufiqurrohman menegaskan bahwa Muhammadiyah memiliki posisi strategis dalam sejarah gagasan pembaruan akidah Islam.
Hal itu ia sampaikan dalam Seminar Sehari Risalah Akidah Islam yang digelar Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Sabtu (27/09/2025).
Menurut Buya Cecep, sapaan akrabnya, sejarah Islam menunjukkan bahwa kejayaan peradaban selalu lahir dari akidah yang bersih.
Sebaliknya, ketika akidah bercampur dengan syirik, bidah, khurafat, dan takhayul, umat mengalami kemunduran.
Pada abad ke-18 dan 19, umat Islam menghadapi tantangan berat, yakni stagnasi intelektual di dalam dan kolonialisme di luar.
Kondisi ini melahirkan gagasan tajdid dan ishlah yang berfokus pada pemurnian akidah. Dari situ lahir gerakan-gerakan revivalisme, termasuk Muhammadiyah pada awal abad ke-20.
Sejak berdirinya, Muhammadiyah tidak sekadar gerakan sosial, tetapi gerakan pemurnian akidah yang menegaskan pentingnya tauhid murni. Pada saat yang sama Muhammadiyah mampu memadukan purifikasi dengan amal sosial serta keterbukaan terhadap ilmu dan modernitas.
Dalam paparannya, Buya Cecep menelusuri jejak para pembaru muslim modern, seperti Muhammad bin Abdul Wahhab, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, hingga Ismail Raji Al-Faruqi.
Setiap tokoh membawa diagnosis berbeda terhadap kemunduran umat. Ada yang menekankan rusaknya akidah, ada yang melihat kelemahan politik, ada pula yang menyoroti hilangnya tradisi ilmu.
Dari mereka, lahirlah berbagai pendekatan. Ada yang memilih pemurnian tauhid dari bidah, ada yang menekankan ijtihad, ada yang menghubungkan tauhid dengan kebangkitan politik dan ilmu pengetahuan. Semua gagasan itu, kata Buya Cecep, menemukan muaranya dalam Muhammadiyah.
“Muhammadiyah lahir sebagai gerakan yang merangkum semangat pemurnian dan semangat pembaruan sekaligus,” jelas Buya Cecep yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan FAI Universitas Muhammadiyah Bandung ini.
Muhammadiyah tampil dengan karakter khas, yaitu menolak takhayul, bidah, dan khurafat, tetapi pada saat yang sama mendorong pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan sosial.
Dengan itu, Muhammadiyah membuktikan bahwa akidah bukan sekadar doktrin metafisis, melainkan fondasi etos kerja, amal, dan kemajuan.
Buya Cecep menegaskan bahwa posisi Muhammadiyah dalam gagasan pembaruan akidah dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, purifikasi tauhid. Kedua, rasionalisasi akidah. Ketiga, pengembangan amal sosial.
Di satu sisi, Muhammadiyah menggaungkan dakwah anti-TBC (takhayyul, bidah, khurafat), mirip dengan semangat puritan Hijaz. Namun, di sisi lain, Muhammadiyah tetap kritis, rasional, dan tidak anti-akal.
Dalam praktiknya, Muhammadiyah tidak mengikatkan diri pada satu aliran teologi tertentu, baik Asy’ariyah maupun Salafi, meskipun memiliki kedekatan dengan madrasah Sunni-Asy’ari dalam banyak hal.
Hal itu tercermin dalam Himpunan Putusan Tarjih (HPT) 1929 yang menyebut bahwa prinsip-prinsip utama akidah Muhammadiyah adalah keyakinan ahl al-haq wa al-sunnah, yakni ahlussunnah yang lurus. Dari situ pula Muhammadiyah menyatakan dirinya sebagai bagian dari al-firqah al-najiyyah (golongan yang selamat).
“Dengan posisi itu, Muhammadiyah bisa disebut sebagai muara dari berbagai gagasan pembaruan akidah di dunia Islam. Ia menyerap semangat purifikasi, tetapi sekaligus terbuka terhadap modernitas dan ijtihad,” kata Buya Cecep.
Buya Cecep menyebut beberapa karakteristik akidah Muhammadiyah yang membedakannya dari gerakan lain. Apa saja itu?
Pertama, berbasis pada Al-Quran dan Sunnah dengan menekankan tauhid murni. Kedua, tidak terjebak pada perdebatan khilafiyah yang berlarut-larut. Ketiga, memahami akidah sebagai dasar etos kerja dan amal sosial.
Dalam hal sifat-sifat Allah, misalnya, Muhammadiyah menerima dua pendekatan, yaitu taslim (menerima apa adanya) atau takwil (pemaknaan majasi).
Sikap ini menunjukkan keterbukaan intelektual yang tidak kaku. Muhammadiyah juga mengajarkan kewajiban menggunakan akal (nadzar) untuk memahami wujud Allah melalui ciptaan-Nya, sebuah metode rasional yang dekat dengan tradisi Asy’ariyah.
Lebih jauh, pengaruh gagasan Muhammad Abduh juga terasa dalam HPT Muhammadiyah. Misalnya seperti fokus pada hal-hal pokok dalam akidah (ilahiyyat, nubuwwat, sam’iyyat), menghindari istilah teknis rumit, dan menolak fanatisme buta.
Pada intinya, akidah Muhammadiyah tidak berhenti pada aspek doktrinal, tetapi menjadi energi bagi gerakan Islam berkemajuan. Di situlah letak posisi strategis Muhammadiyah dalam sejarah gagasan pembaruan akidah.***