Kabar PersyarikatanKolom

Menghidupkan Pikiran Maju di Akar Rumput

Oleh: Yandi*

Jika direnungkan selain mewariskan Muhammadiyah sebagai organisasi, kiai Dahlan juga meninggalkan  warisan lain yang tidak berwujud materi, intangible, yang tak kasat mata. ‘Legacy’ yang dimaksud  tiada lain adalah pikiran maju yaitu cara berpikir progresif dalam memahami  ajaran Islam.  

Berdasarkan literatur  sejarah, praktek beragama  umat Islam saat itu  cenderung lebih menekankan ‘heavily’ aspek ritual-personal, serba  mistis dan sinkretis. Kemudian kiai Dahlan datang dengan ‘insight’ baru, yang tidak hanya menekankan  ibadah ritual tapi juga aspek amalan sosial dan mengenalkan pentingnya dimensi akal, bersikap kritis dan terbuka, sehingga doktrin agama tidak diterima secara ‘taken for granted’. 

Dalam kerangka  itulah kiai Dahlan mentransformasi pengajian al-Ma’un dari sekedar pembacaan biasa  yang  resitatif menjadi sebuah aksi nyata yang  ‘impactful’. Dengan menginisiasi  gerakan  ‘feeding’, langsung menyantuni anak yatim dan kaum dhuafa, yang kemudian  mendorongnya untuk mendirikan persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912.

Sejak saat itu kyai Dahlan tampil menjadi penggerak  dakwah Muhammadiyah dengan melakukan pembaruan dan kepeloporan. Tidak hanya  pada aspek pemikiran dan praktek keagamaan  tapi juga  gerakan pendidikan, kesehatan  dan aksi sosial.   

Risalah Islam Berkemajuan (RIB)

Pasca ditanfidzkan di muktamar Muhammadiyah ke-48 tahun 2022  di Surakarta, konsep Risalah Islam Berkemajuan  (RIB) telah berjalan  sekira tiga tahun. Namun jauh sebelumnya materi RIB ini secara intensif telah disosialisasikan  kepada  seluruh  kader. Mulai dari tulisan lepas atau artikel, buku-buku, dan berbagai forum baik berupa podcast, diskusi maupun seminar-seminar yang menghadirkan   pimpinan pusat maupun akademisi dari berbagai kampus Muhammadiyah.

Naskah  RIB ini – beserta seluruh  dokumen persyarikatan lainnya – merupakan sebuah   penegasan  bahwa  Muhammadiyah  bukan hanya   organisasi  dan infrastruktur  fisik  semata berupa sekolah, universitas, rumah sakit dan  panti asuhan.

Muhammadiyah  juga  merupakan sebuah entitas  pemikiran  yang  di dalamnya  terdapat  rumusan-rumusan  doktrinal. Yang dikeluarkan oleh majelis tarjih dan tajdid, berupa  tuntunan  fikih  maupun  naskah-naskah   lain  yang  memuat  rumusan ideologis.  Yang  paling  mutakhir  Muhammadiyah  mengagas panduan ibadah   yang mengacu  pada Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT)  yang di luncurkan  beberapa waktu lalu.

Jarang  diketahui  oleh  publik  di luar Muhammadiyah bahwa   semua produk pemikiran ini  merupakan hasil   ijtihad kolektif, yang telah melewati  serangkaian  diskusi dan perdebatan panjang dengan melibatkan para ulama dan cendekiawan  Muhammadiyah.

Namun sampai disini timbul pertanyaan, sejauh  mana wawasan para kader di akar rumput  tentang   konsep RIB ini? Apakah mereka membaca  dokumen  setebal 93 halaman tersebut ?  Untuk mencari kemungkinan  jawabannya  ada satu variabel yang bisa dijadikan indikator yaitu minat baca. Sudah  menjadi pengetahuan umum bahwa minat baca di Indonesia terbilang rendah. Tahun 2024 UNESCO merilis data yang menyatakan  diantara 1000 orang Indonesia yang membaca buku hanya 1 orang. Tentu saja  data ini   termasuk warga Muhammadiyah di dalamnya.

Sulit dinafikan bahwa membaca belum menjadi tradisi para pimpinan dan  kader Muhammadiyah,  terutama  di akar rumput. Fenomena  ini pernah membuat, Allahu yarham, Buya Syafii Maarif masygul. 

Dalam sebuah wawancara dengan majalah Suara Muhammadiyah, januari 2019  Buya mengungkapkan:  “Kebiasaan  membaca ini dalam pantauan saya  belum  intensif dan sungguh – sungguh jadi budaya dalam Muhammadiyah. Tanpa  penggalakan  budaya  baca ini, maka slogan Islam Berkemajuan  hanya akan beredar di  lapisan elit tidak menyentuh akar rumput”. Kemudian Buya  menyatakan , “ aktifisme mesti diimbangi oleh kegiatan literasi”, tegasnya. 

Jika dilihat lebih dekat dampak  rendahnya  kebiasaan membaca  atau literasi    di akar rumput ini  bukan hanya slogan Islam Berkemajuan  tidak menyentuh akar rumput seperti yang disinggung Buya,  tapi juga berimplikasi  pada lemahnya  pemahaman  dan wawasan kader tentang berbagai dokumen Muhammadiyah.  Akibatnya secara manhaj dan ideologi  cenderung rapuh,  mudah goyah,  gampang disusupi oleh  pikiran, paham dan ideologi lain yang berseberangan  dengan cara pandang Muhammadiyah. 

Tidak jarang    ada  yang mengaku warga Muhammadiyah tapi masih mempersoalkan  kepemimpinan  perempuan. Ini menunjukkan yang bersangkutan  kurang literasi manhaj tarjih. Sehingga  tidak  paham  bahwa     Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang menjunjung tinggi kesetaraan gender.  Dalam pandangan tarjih kedudukan  dan jabatan ditentukan oleh  meritokrasi  yaitu  kapasitas,  kapabilitas dan  integritas sebagai parameternya. Bahkan kiai Dahlan sejak  awal  mendorong     perempuan Muhammadiyah tampil    ke ruang  publik sehingga   berdirilah  Aisyiyah  pada tahun 1917.  

Di tempat  lain masih  terdapat  kader akar  rumput  yang   secara  diam-diam  merindukan   khilafah. Ini  menegaskan kader  tersebut tidak  membaca dokumen ideologi  Muhammadiyah tentang  relasi Islam dan negara yaitu:  “Negara Pancasila Sebagai    Darul ‘ahdi wal Syahadah”.

Realitas   di atas   merupakan  potret  dinamika jamaah  yang ada  di  tingkat   kepemimpinan   akar  rumput.   Harus diakui di tengah arus informasi digital sekarang ini, setiap orang  bebas berselancar  tentang agama dan ideologi. Urusan “pembinaan”  pola pikir  jamaah   menjadi tidak gampang. Meskipun publik mengenal  profil warga Muhammadiyah sebagai kelas menengah   yang  berpendidikan. Namun tidak semua  jamaah Muhammadiyah  di tingkat cabang dan ranting  memiliki cara berpikir terbuka dan progresif.

Miskinnya  literasi  membuatnya  terperangkap  dalam cara berpikir  sempit, rigid, dan konservatif  dalam mengartikulasikan  kemuhammadiyahannya.   Terkadang  hal ini  menjadi pemicu  silang  pendapat yang  kontra produktif diantara  para pimpinan. Disinilah pentingnya kesadaran segenap  kader akar  rumput    untuk membuka cakrawala dengan  aneka sumber bacaan.  Agar pikiran    tetap  segar  dan terasah,  kaya sudut pandang dan berpikiran maju. Sehingga terjaga keseimbangan antara militansi   gerakan dengan  kualitas pemahaman dan pengetahuan (knowledge).

Islam  Berkemajuan sudah digaungkan,  karenanya alam pikiran maju harus menjadi ‘state of mind’ yang terinternalisasi dalam pikiran  setiap kader.  Kemudian secara praksis organisatoris  mengaktualisasikannya dalam gerak    persyarikatan di akar rumput.  Hal ini  ‘compatible’ dengan  karakteristik Muhammadiyah   sebagai gerakan  dakwah pencerahan yang  merupakan praksis  Islam Berkemajuan.

Pikiran  Maju di  AUM

Pencapaian   Muhammadiyah yang  tinggi  dalam berbagai bidang  dakwahnya  tak bisa  dipisahkan dari  keberadaan akar rumput  yaitu cabang dan ranting. Selain pusat berhimpunnya  jama’ah, amal usaha Muhammadiyah (AUM) juga   terkonsentrasi di sana.  Mulai dari  universitas, sekolah,  rumah sakit,  poliklinik, dan   panti asuhan merebak di seluruh penjuru tanah air. Di mata publik AUM  juga menjadi representasi simbolik  tentang kesuksesan Muhammadiyah sebagai gerakan  Islam  modern. 

Kini  perjalanan Muhammadiyah   di awal abad kedua dihadapkan  pada  dinamika  dan  tantangan zaman yang  jauh lebih kompleks . Perubahan  begitu cepat  yang diwarnai dengan tingginya  persaingan    dalam  berbagai  lini kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan.

Muhammadiyah satu abad lampau  menjadi  penggagas pembaruan  yang  sukses mengintegrasikan sistem pendidikan agama dan umum. Namun sekarang sekolah Muhammadiyah “diagresi”   oleh banyak  lembaga pendidikan  lain. Mereka menawarkan format dan konten pembelajaran yang  jauh lebih  menarik dan inovatif dibandingkan dengan Muhammadiyah.

Mitsuo  Nakamura   pemerhati  Muhammadiyah  asal  Jepang pernah menguraikan  berbagai masalah  berat  yang dihadapi  Muhammadiyah.   Salah satu diantaranya  adalah  tentang fenomena sebagian dari lembaga pendidikan milik Muhammadiyah  yang terlihat ketinggalan  zaman dan  kalah bersaing dengan sekolah-sekolah  lain.  Hal itu  disampaikannya dalam “Konferensi  Riset Internasional tentang Muhammadiyah” atau IRCM ( International Research Conference on Muhammadiyah ) yang  diselenggarakan  di Malang, 29 November – 2 desember 2012.

Ironisnya   di tengah tantangan persaingan yang jelas tampak  di depan mata,  masih banyak  kepala sekolah dan jajarannya yang berpikir  konservatif, jumud dan tidak mau berubah. Mandat  yang diberikan oleh Muhammadiyah  hanya  dijalankan  apa adanya, ‘bussines as usual’  sekedar  melaksanakan rutinitas.  Yang ada  dalam pikirannya hanya  ‘constraint’ keterbatasan, halangan  dan rintangan.   Bukan berpikir   maju  melangkah ke depan  dengan mencari   cara bagaimana  meningkatkan dan memajukan kualitas  sekolah  Muhammadiyah.

Tidak  heran AUM  pendidikan yang  telah berjalan puluhan tahun,  yang  dibangun  oleh para  perintisnya dengan  pengorbanan  dan perjuangan berdarah-darah, keadaannya  masih tetap sama nyaris tanpa perubahan yang berarti.  Keadaan  jalan di tempat, tanpa  visi   dan arah  yang jelas seperti  ini pada akhirnya  membuat sekolah  menjadi korban. Sehingga sekolah  Muhammadiyah  di beberapa  daerah terpaksa  harus tutup karena  krisis murid.

Selanjutnya  Antropolog  Chiba University  ini menyarankan, “ untuk bangkit kembali perlu langkah sistematis dari pengurus Muhammadiyah  sendiri dan  kesadaran warga Muhammadiyah”.  Sejalan  dengan pikiran Nakamura,  para pimpinan  dan pengambil  kebijakan  di Muhammadiyah sejatinya harus segera bangkit untuk melakukan pembenahan internal  secara konkrit,  lebih sungguh-sungguh dan  terencana.  Dengan menyusun  road map sebagai kerangka acuan, lalu ditindak lanjuti  dengan langkah praksis yang terukur.

Di tengah  agresifnya kepungan  kompetitor, mengelola  sekolah  tidak  bisa dengan menggunakan  cara  lama  yang sudah usang. Kepala sekolah  dituntut   untuk memiliki   jiwa  kepemimpinan (leadership)  yang lebih  transformatif  yang didukung   oleh guru -guru  Muhammadiyah yang  berpikiran  maju, bersikap terbuka  mau menerima  saran dan kritik untuk  kemajuan. 

 Penutup

Ala kulli hal, penting  untuk menghidupkan pikiran maju di akar rumput dengan meningkatkan minat baca untuk membuka  wawasan  dan memperkaya   cara berpikir. Dengan  budaya baca diharapkan  gairah Islam Berkemajuan bisa  membumi di akar  rumput. 

Islam Berkemajuan  yang  dikembangkan oleh Muhammadiyah menuntut setiap kader dan pimpinan untuk berpikiran maju. Pikiran maju – dalam pandangan Ketum PP Muhammadiyah Haedar Nashir – adalah pola pikir yang terbuka terhadap perubahan dan inovasi, progresif, dan berorientasi  ke masa depan serta selalu berusaha bergerak maju untuk mencapai kemajuan.

Dengan demikian pikiran maju sejatinya  menjadi bingkai dalam setiap  gerak dan langkah   para kader di akar rumput baik  di level organisasi maupun  dalam tata kelola AUM,  agar terhindar dari  kejumudan dan kemunduran.   Wallahu ‘alam bishawab.

*Ketua PCM Ciawi – Tasikmalaya

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button