Kabar PersyarikatanKolom

Mengapa Amerika Serikat Sangat Ingin Mendapatkan Data Pribadi Warga Negara Indonesia?

Pertanyaan mengapa Amerika Serikat begitu mengincar data pribadi Warga Negara Indonesia (WNI), sebetulnya bisa dijawab dengan sederhana, tetapi memiliki konsekuensi yang sangat luas.

Ilustrasi yang paling mudah dapat dilihat melalui sistem pembayaran nasional QRIS. QRIS ibarat jalan tol digital milik Indonesia. Setiap kali masyarakat melakukan pembayaran—baik untuk membeli kopi, makanan di warung, atau berbelanja daring—semua transaksi itu melalui jalur yang sama, yaitu QRIS. Keunggulannya jelas: biaya transaksi yang jauh lebih murah, arus uang berputar di dalam negeri, dan data transaksi tetap berada di Indonesia. Dengan kata lain, QRIS adalah benteng digital bangsa.

Namun, kondisi ini tidak menguntungkan bagi perusahaan pembayaran global seperti Visa dan Mastercard. Selama bertahun-tahun, mereka terbiasa menjadi jalur utama transaksi keuangan dunia dengan biaya yang relatif tinggi.

Hadirnya QRIS mereduksi dominasi mereka, terlebih Indonesia adalah pasar terbesar di Asia Tenggara. Tidak mengherankan jika kemudian muncul lobi kepada pemerintah Amerika Serikat untuk membuka akses terhadap sistem ini.

Pemerintah Amerika Serikat menawarkan penurunan tarif impor barang dari Indonesia, dari 32% menjadi 19%, dengan syarat yang dibungkus dalam istilah birokratis seperti ‘menghapus hambatan perdagangan digital’ atau ‘mengizinkan arus data lintas batas.’

Meski terdengar teknis, maknanya jelas: membuka pintu benteng digital Indonesia, mengizinkan perusahaan asing masuk, dan memperoleh akses terhadap data transaksi masyarakat.

Data yang menjadi incaran bukan sekadar identitas pribadi, melainkan pola transaksi bangsa secara keseluruhan. Informasi tentang pola belanja, gaya hidup, hingga kebutuhan kesehatan masyarakat adalah aset berharga di era digital. Dengan menguasai data tersebut, perusahaan asing memiliki keunggulan strategis untuk mendominasi pasar domestik dan menggeser posisi pelaku usaha lokal.

Ironinya, keputusan strategis terkait isu ini justru diambil di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Selama ini, Prabowo membangun citra politik dengan retorika nasionalisme, kedaulatan bangsa, dan sikap tegas terhadap asing. Namun, pada Juli 2025, di bawah tekanan tarif dari Amerika, pemerintah akhirnya memilih tunduk. Kesepakatan yang disebut ‘resiprokal’ memberikan keuntungan jangka pendek berupa penurunan tarif, tetapi dibayar mahal dengan hilangnya kendali atas salah satu pilar kedaulatan digital nasional.

Ada setidaknya tiga kritik utama terkait langkah ini. Pertama, keputusan tersebut sama saja dengan menjual benteng digital yang telah dibangun oleh pemerintahan sebelumnya. Kedua, pemerintah tampak lemah di meja perundingan, menukar aset strategis jangka panjang dengan keuntungan jangka pendek. Ketiga, pemerintah tidak transparan dengan rakyat, menggunakan istilah teknis seperti ‘arus data lintas batas’ alih-alih menyebutkan secara eksplisit apa yang sebenarnya dipertaruhkan.

Sejarah akan mencatat bahwa di masa kepemimpinan Prabowo Subianto—seorang tokoh yang dikenal dengan retorika tegas tentang kedaulatan—Indonesia justru kehilangan salah satu aset kedaulatannya yang paling vital di abad ke-21. Benteng digital yang seharusnya menjadi simbol kemandirian bangsa kini pintunya terbuka lebar, dan ironinya, pintu itu dibuka sendiri oleh pemimpin yang berjanji akan menjaganya.

*Kontributor: Sayid Damar Wicaksono (Sekretaris Pemuda Muhammadiyah Pondok Gede)

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button