
Oleh: Ace Somantri*
TIDAK banyak manusia yang mengetahui sejarah hal ihwal perjalanan setiap syariat Islam secara utuh dan komprehensif, apalagi tidak berkeyakinan Islam sebagai ajaran agama. Orang-orang yang berikrar secara langsung atau tidak, bersaksi tiada Tuhan selain Allah SWT, dan bersaksi bahwasanya Muhammad SAW utusan Allah Ta’ala.
Maka, ada konsekuensi terhadap ajaran-Nya dan keteladan Nabi dan Rasul-Nya tanpa menentang dan mengingkari-Nya. Suka tidak suka, hal tersebut bagian dari sikap komitmen moral akan persaksian diri sebagai makhluk terhadap Sang Pencipta.
Begitupun, saat ada ajaran yang diperintahkan untuk ditunaikan dapat segera dikerjakan atas dasar ketentuan kaifiat atau tata cara praktisnya yang telah ditetapkan. Adapun, bagaimana dan seperti apa logisnya melakukan perbuatan yang dikerjakannya, Allah Ta’ala telah memberikan Wahyu kepada para Nabi dan Rasul-Nya secara lengkap dan sempurna, alasan demi alasan telah dijelaskan dalam kalam-Nya yang Mahasempurna.
Ramadhan merupakan di antara salah satu nama bulan dari dua belas nama-nama bulan dalam tahun Hijriah. Ramadhan identik dengan kewajiban umat manusia yang beriman berpuasa atau bersiam. Kewajiban tersebut secara turun-menurun telah melekat dari generasi ke generasi umat Islam tanpa ada penolakan.
Luar biasa dan dahsyat ajaran Islam itu, tetapi penting bagi siapa pun umat Islam manakala berbuat ibadah atau berta’abudi vertikal, sebaiknya atas dasar pengetahuan dan keyakinan yang rasional, logis, dan objektif. Sehingga setiap perbuatan sekecil apa pun ibadah benar-benar bernilai dan berpengaruh terhadap kualitas hidup didunia hingga ke akhirat kelak nanti.
Hampir dipastikan, pada umumnya manusia saat beribadah lebih banyak atas dasar kewajiban karena merupakan perintah ajaran agama semata. Jarang sekali logika berpikirnya menyentuh pada substansi dari setiap kegiatan ibadah sehingga di balik ibadah tersebut ada makna dan arti yang terkandung untuk kebaikan dirinya dan orang lain.
Ramadhan adalah syahrul ash shiyam atau bulan berpuasa bagi umat manusia beriman yang meyakini kebenarannya, maanfaatnya, dan nilai guna lainnya. Tidak semata-mata Islam memberi ajaran tanpa ada nilai yang didapat, termasuk saum di bulan Ramadhan. Maka penting mengetahui histori wajib saum Ramadhan, hal demikian menjadi salah satu untuk menambah keyakinan akan kebenaran syariat tersebut.
Puasa para nabi
Dalam histori, perbuatan saum dilakukan oleh Nabi Adam, manusia pertama, kala itu sesaat setelah awal memulai hidup di muka bumi, badannya menghitam akibat terpapar panasnya sinar matahari, kemudian Allah Ta’ala memerintahkan Adam untuk berpuasa tiga hari, dan setelah berpuasa badannya putih kembali. Dalam khazanah ilmu keislaman, puasa tersebut dikenal istilah puasa ayyamul bidh.
Selanjutnya, oleh Nabi Nuh juga berpuasa selama tiga hari, saat itu dalam kondisi membawa umatnya dalam kapal perahunya sebagai bentuk rasa syukur dan terima kasih atas keselamatan yang didapat. Dan seterusnya, puasa tersebut di antara para Nabi Allah Ta’ala melakukan hal yang sama, bahkan nabi yang lainya berpuasa hingga puluhan hari siang malam.
Kemudian di saat kenabian Muhammad SAW, pada waktu tersebut manakala melaksanakan hijrah dari Makkah ke Madinah pada tahum 622 M, ketika di Madinah Rasulullah Muhammad SAW medapati orang-orang Yahudi berpuasa setiap tanggal 10 Muharam, dan setelah ditelusuri bahwa mereka berpuasa. Menurut kaum Yahudi, pada saat Nabi Musa dan kaumnya dikejar oleh Fir’aun dan kemudian diselamatkan oleh Allah Ta’ala, nabi Musa berpuasa bersama kaumnya sebagai tanda rasa syukur atas keselamatan mereka.
Masuk di tahun 624 M atau tahun kedua Hijriah, 18 bulan berdomisilinya Rasulullah di Madinah, turunlah Wahyu Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 183 yang menyatakan kewajiban berpuasa. Berikutnya ada penjelasan wahyu yang menjelaskan bahwa di bulan Ramdhan sebagai bulan diwajibkannya umat muslim berpuasa yang terdapat dalam QS Al-Baqarah ayat 185 dengan penagasan sebagai berikut” … barang siapa di antara kamu mendapati bulan itu (Ramadhan), maka berpuasalah …” begitulah syariat wajibnya saum di bulan Ramadhan.
Di antara beberapa alasan kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan, baik setelah saat Nabi Muhammad SAW mendapatkan wahyu perintah saum maupun nabi-nabi sebelumnya. Ada substansi alasan yang sama, yakni berpuasa karena rasa syukur dan terima kasih kepada Sang Pencipta akan pertolongan dan keselamatan yang didapat, baik itu Nabi Adam, Nabi Nuh, Nabi Musa, dan juga nabi-nabi lainnya.
Begitupun Nabi Muhammad SAW saat menerima wahyu pertama, itu pertanda nyata dan bukti pertolongan dan diselamatkan oleh Allah Ta’ala. Alasan logis dari sebuah syariat Islam hal ihwal wajibnya saum tidak semata-mata kewajiban. Namun, sesuatu konsekuensi logis sebagai makhluk yang harus bersyukur telah diciptakan dengan keadaan baik dalam bentuknya dan sehat bugar walafiat.
Oleh karena itu, kontekstualisasinya sangat relevan. Saat ini umat muslim berpuasa semata-mata bukan kewajiban yang terpaksa, melainkan seharus sadar diri akan kasih sayang-Nya yang telah menghidupkan dengan sempurna dilengkapi perbekalan alam semesta yang dapat diolah sebaik-baiknya.
Bentuk syukur
Saum Ramadhan tidak berhenti sebagai kewajiban yang memaksa, tetapi dapat diwujudkan sebagai bentuk syukur dengan dorongan rasa bahagia dan gembira. Relevan sekali kenapa baginda Nabi Muhammad SAW menghadapi bulan Ramadhan bahagia dan gembira. Beliau menjadikan saumnya di bulan Ramadhan momentum saum bersyukur yang benar-benar tepat waktunya.
Selama ini, kita dan umat muslim pada umumnya berpuasa atau saum semata-mata masih dalam tahap kewajiban yang cenderung masih ada unsur-unsur keterpaksaan serta unsur-unsur lainnya. Jika melihat historinya, umat terdahulu berpuasa karena atas dorongan akan rasa terima kasih kepada Sang Pencipta, sekaligus sebagai bentuk penyucian jiwa dan raga dari segala hal kotoran keburukan yang menodainya.
Tahapan-tahapan tersebut hal wajar sebagai diri manusia yang banyak kelemahan dan keterbatasan. Namun, penting dipahami bahwa ajaran Islam dalam wahyu-Nya tidak dikotomis dan parsial dalam pemaknaanya, tetapi saling keterkaitan dengan makna ibadah lainnya. Ayat satu dengan ayat lainnya menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan.
Momentum Ramadhan dapat dikontekstualisasikan era zaman sekarang tampaknya harus ada pemaknaan mendasar bagi umat manusia kekinian. Nilai-nilai histori saum dimaknai tidak dalam ritualistik semata seolah-olah hanya berhenti dalam kaifiyat ta’abudi bersifat kaku.
Manusia diberikan nalar akal sehat, kecerdasan yang berbeda dengan makhluk lainnya, agar supaya nilai saum tidak terjebak rutinitas tahunan. Sebaiknya ada hal yang menjadikan saum bentuk refleksi ibadah yang sangat menarik sehingga spirit dan motivasi lebih kuat daya dorongnya.
Sehingga saum Ramadhan itu benar-benar dirindukan kedatangannya, tanpa merasa menjadi kewajiban yang terpaksa. Dengan alasan di luar kewajiban, hal itu akan menanamkan nilai syariat yang berfungsi sekedar mengingatkan.
Histori syariat saum benar-benar salah satu kaifiyat ibadah ta’abudi vertikal yang memiliki dimensi luas, selain nilai pembuktian sikap teologis seorang muslim, juga menjadi bagian dari menguji diri akan kesadaran yang jujur terhadap konsekuensi kebersyukuran terhadap apa yang diberikan oleh Allah Ta’ala. Wallahu’alam.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat