
Oleh: Nashrul Mu’minin*
PADA era di mana scroll jempol lebih cepat daripada kerja otak dan stories Instagram lebih berpengaruh daripada kitab kuning, dunia literasi digital telah menjadi medan pertarungan baru bagi gagasan-gagasan besar—termasuk dalam sosiologi pendidikan Muhammadiyah.
Data terbaru Kemenkominfo (2025) menunjukkan bahwa 89 persen diskusi keislaman progresif kini terjadi di ruang digital, dengan generasi muda Muhammadiyah menjadi salah satu aktor paling aktif.
Namun, di balik gelombang digitalisasi ini, ada pertanyaan kritis: Apakah kita sedang membangun menara ilmu digital atau sekadar mengubur khittah keilmuan di bawah reels dan algoritma?
Muhammadiyah, dengan DNA-nya sebagai gerakan tajdid (pembaruan), sebenarnya punya modal genetik untuk menjadi pionir “Neosains Digital”—sebuah pendekatan yang menyinergikan literasi digital, epistemologi Islam, dan sosiologi pendidikan.
KH Ahmad Dahlan dulu mengajar dengan metode bandongan di serambi masjid; hari ini, para kader Muhammadiyah bisa menerjemahkan spirit itu dalam format webinar interaktif atau podcast kajian tafsir.
Namun, masalahnya, digitalisasi bukan sekadar memindahkan konten ke layar gawai. Ada tiga lapisan persoalan yang perlu diurai.
Pertama, ancaman “ilmu instan” di era digital. Survei MPT Muhammadiyah (2025) mengungkap bahwa 67 persen santri digital Muhammadiyah mengaku lebih sering belajar dari konten tiga menit di TikTok daripada membaca kitab utuh.
Ini berbahaya karena melahirkan “generasi kutipan”—fasih quote Buya Hamka tanpa pernah menelusuri konteks historisnya. Padahal, tradisi keilmuan Muhammadiyah dibangun di atas prinsip “tahqiq” (verifikasi mendalam), bukan sekadar share tanpa tabayun.
Jika dibiarkan, kita akan menyaksikan krisis otoritas keilmuan di mana kebenaran ditentukan oleh trending topic, bukan sanad keilmuan yang sahih.
Kedua, sosiologi pendidikan digital yang terfragmentasi. Riset Pusat Studi Digital Muhammadiyah (2025) menunjukkan polarisasi ekstrem di ruang digital: antara kelompok “puritan digital” (yang menolak segala bentuk modernisasi kurikulum) dan “liberal algoritmik” (yang ingin melebur seluruh khazanah keislaman dalam logika start-up).
Muhammadiyah seharusnya hadir sebagai penengah dengan model “teosibernetika”—meminjam istilah cendekiawan muda Muhammadiyah—yakni pendekatan yang memadukan etika Islam, sains data, dan sosiologi partisipatoris.
Contoh konkret? Platform “Ijtihad Digital” yang mengkurasi konten keislaman berbasis hierarki keilmuan ulama, bukan sekadar engagement rate.
Ketiga, jejaring sosial sebagai ruang kelas baru. Data menarik dari Majelis Diktilitbang (2025): 82 persen kader IPM (Ikatan Pelajar Muhammadiyah) lebih aktif berdebat di Twitter Spaces daripada di musyawarah ranting.
Ini peluang sekaligus ancaman. Peluangnya, ruang digital bisa menjadi laboratorium sosiologis untuk menguji gagasan-gagasan pembaruan. Ancamanannya, diskusi kehilangan “ruh” ta’dib (pendidikan adab) ketika likes dan retweet menjadi parameter kebenaran.
Di sinilah silsilah keilmuan Muhammadiyah harus diaktualisasikan dalam format digital: Sanad guru-murid tidak lagi linear dari kiai ke santri, tapi bisa melalui thread Twitter yang dirujuk oleh ribuan orang—asalkan tetap menjaga integritas transmisi ilmu.
Lalu, bagaimana memastikan digitalisasi tidak menggerus khittah? Muhammadiyah harus memimpin gerakan “digitalisasi yang mencerdaskan” dengan tiga strategi.
Pertama, membangun “digital pesantren”—ekosistem belajar berbasis platform yang memadukan kurikulum klasik (seperti Kitab Tauhid) dengan literasi data.
Kedua, menyusun “peta jalan neosains digital” yang mengikat tradisi keilmuan Islam dengan inovasi teknologi. Misalnya, mengembangkan AI (kecerdasan buatan) yang bisa mendeteksi hoaks keislaman berdasarkan rujukan kitab mu’tabar.
Ketiga, menggalakkan “gerakan literasi kritis” di kalangan generasi muda, di mana setiap konten keagamaan tidak hanya viral, tetapi juga verifiable.
Di ujung tulisan ini, saya teringat pesan tersirat dari KH Ahmad Dahlan: “Jangan hanya pandai mengaji, tapi juga paham ‘membaca’ zamannya.” Hari ini, “membaca zaman” berarti menguasai kode-kode digital tanpa kehilangan akar keilmuwan.
Muhammadiyah, dengan sejarah panjangnya dalam memadukan tradisi dan modernitas, punya tanggung jawab untuk melahirkan “ulama digital”—bukan sekarang influencer yang pandai berkhotbah di layar, tetapi intelektual yang mampu menjawab tantangan zaman dengan kedalaman nalar.
“Di dunia yang semakin terhubung, sanad keilmuan tidak boleh putus di tengah jalan—meski medianya berubah dari lisan ke pixel.”
*Content Writer Yogyakarta