
Oleh: Ace Somantri*
Kuliah kerja nyata (KKN) puluhan tahun tak tergoyahkan, berjalan menjadi rutinitas akademik di hampir semua kampus, baik perguruan tinggi negeri maupun swasta. Mungkin hanya beberapa kampus saja yang tidak menyelenggarakan KKN, entah apa alasan akademiknya, hal itu dikembalikan kepada kebijakan kampus masing-masing.
Perlu dipahami, kebijakan akademik yang menyelenggarakan kuliah kerja nyata memiliki segudang manfaat yang memerlukan pengembangan desain yang lebih kreatif, inovatif, dan adaptif. Tidak hanya menjalankan rutinitas akademik semata hingga terpenuhi beban sistem kredit semester mahasiswa dalam rangka memenuhi beban tri dharma perguruan tinggi selama studi di kampusnya tanpa terlewati.
KKN yang dialami semua mahasiswa dan bagi yang mengalaminya dipastikan banyak hal positif didapatkan. Selain terpenuhi beban dan tanggung jawab akademik sebagai mahasiswa maupun dosen, ternyata kuliah kerja nyata telah memberikan pengalaman berharga yang jika dikonversikan dengan nilai jumlah sistem kredit semester jauh lebih banyak dari jumlah SKS yang dibebankan kepada mahasiswa.
Sehingga dari portofolio yang terekam dalam jejak akademik masih menunjukkan hal positif yang dibutuhkan. Namun, sangat disayangkan sependek yang dipahami, selama beberapa dekade ini, desain dan pola KKN nyaris tidak ada transformasi perubahan yang signifikan. Padahal, dari kegiatan akademik tersebut menjadi bagian utama dalam memenuhi dharma pengabdian kepada masyarakat, sehingga tingkat nilai kepentingannya sangat strategis.
Selama ini, dharma pengabdian masyarakat ini seolah-olah sekadar pelengkap jumlah total kewajiban akademik yang dibebankan kepada mahasiswa, dosen, dan warga akademik lainnya. Padahal, eksistensi perguruan tinggi akan mampu bertahan dan memiliki reputasi adalah terletak pada mutu lulusan yang mampu cepat bertransformasi di dunia nyata.
Program akademik dalam kegiatan KKN menjadi momentum bagi warga kampus atau sivitas akademik menjadikannya sebagai momentum strategis yang benar-benar dipersiapkan secara baik dan benar untuk menambah kemampuan akademik dan memenuhi nilai mutu lulusan yang lebih berkualitas lebih baik.
Kegiatan KKN selama ini yang berjalan dengan durasi yang relatif pendek waktunya, seolah hanya memenuhi administrasi akademik portofolio kampus bidang pengabdian kepada masyarakat sebagai darma ketiga yang dibebankan dalam kewajiban akademik.
Sejatinya momentum KKN menjadi kesempatan emas bagi penggerak dunia akademik kampus yang harus diubah desain, pola, model, dan strateginya. Hal demikian untuk mempersiapkan sekaligus menguji kemampuan mahasiswa sebelum lulus dari program studi yang diambilnya.
Bahkan, sebaiknya momentum KKN menjadi waktu emas bagi sivitas akademik untuk banyak mempelajari dan memahami berbagai kondisi, situasi, dan fenomena kehidupan masyarakat terkini, termasuk dunia industri yang berkembang saat ini.
Karena faktanya semua sivitas akademika menyadari betul bahwa KKN masih sebatas dan sekadar memenuhi kewajiban administrasi akademik tri dharma perguruan tinggi. Oleh karena itu, sebagian dosen atau warga kampus menganggap kegiatan tersebut tidak terlalu penting bagi peningkatan mutu akademik mahasiswa. Selama ini fokus pencapaian akademik hanya lebih pada mampu dan tidaknya menjawab soal ujian tulis ataupun ujian praktik.
Terlepas dari hal tersebut, program KKN yang hingga kini masih berjalan sesuai dengan tradisi. Maka konsekuensi dari waktu yang tersedia tidak menjadi sia-sia belaka karena dengan rumusan program pengabdian yang hanya meramaikan suasana desa atau kampung yang disinggahi.
Kehadiran mahasiswa pun di mata warga desa setempat hanya dimanfaatkan untuk membantu kegiatan desa dan program-program rutin masyarakat yang tidak mengubah keadaan. Kedatangan mahasiswa KKN sebaiknya benar-benar dijadikan momentum memperbaiki keadaan desa dan masyarakat lebih berdaya dengan berbagai peningkatan mutu hidup masyarakat secara signifikan.
Beban itu memang dirasakan akan berat jika mahasiswa yang diterjunkan tidak memiliki skill yang memadai, bahkan akan membuat reputasi kampus kurang baik. Penting diperhatikan oleh pihak kampus, kemampuan atau skill mahasiswa harus memiliki dasar yang teruji.
Apalagi mereka sudah mendapatkan kredit akademik 100 SKS lebih sehingga saat di masyarakat benar-benar memberikan nilai tambah kepada masyarakat hingga berdampak taktis dan strategis.
Momentum tersebut harus dijadikan barter (take & give) antara masyarakat dengan mahasiswa atau sivitas akademika kampus. Selama ini, KKN pada umumnya masih cenderung konvensional, sekadar bantu-bantu sederhana kegiatan desa, RW, dan RT, seperti kegiatan lomba seni, olahraga dan hiburan lainnya yang bersifat seremonial semata.
Hal itu bukan buruk atau tidak boleh. Namun, setiap satu momentum KKN ada goals yang hendak dicapai secara terukur, terstruktur, dan berdampak pragmatis (nilai manfaat langsung dirasakan peningkatan mutunya) dan strategis (bernilai manfaat jangka panjang) terhadap semua pihak.
Sehingga rumusan programnya tersusun dengan baik dan benar sesuai kebutuhan semua pihak, baik masyarakat maupun kampus itu sendiri. Untuk mengetahui hal tersebut, pihak kampus jauh-jauh hari memiliki data hasil asesmen lapangan akan kebutuhan skala prioritas masyarakat desa yang akan dijadikan tempat KKN mahasiswa. Tidak dengan mendadak saat datang ke lokasi baru melakukan asesmen.
KKN dalam terma akademik menjadi bagian kecil wujud darma pengabdian masyarakat. Hanya sangat disayangkan polanya sangat minim kreativitas dan inovasi. Padahal, momentumnya sangat strategis karena masyarakat, mahasiswa, dan juga dosen menjadi satu kesatuan membuat karya nyata yang dibutuhkan untuk jangka pendek hingga jangka panjang.
Pun sama, mahasiswa tidak sekadar pengabdian semata. Namun, harus bisa menggali informasi sebagai sumber pengetahuan untuk menambah dan meningkatkan kapasitas seorang terpelajar yang akan mengubah diri menjadi ilmuwan sekaligus praktisi.
Jika sekadar datang dan berinteraksi dengan masyarakat hanya dalam kegiatan bakti sosial dan kegiatan seremonial lainnya, lebih baik tidak ada program KKN saja. Terlebih dalam kegiatan tersebut menelan biaya yang membebankan orang tua mahasiswa yang tidak sedikit dan menyita waktu yang tidak sebentar.
Namun, perlu ditegaskan bahwa KKN wajib hukumnya bilamana dengan konsep yang kreatif dan inovatif keterbaruan. Hal itu penting untuk menunjukkan kapasitas pihak kampus melalui mahasiswa berkontribusi yang berdampak strategis.
Semua melihat dan merasakan, KKN hingga saat ini belum ada kreativitas dan inovasi yang terbarukan, padahal kebijakan akademik ini sudah puluhan tahun. Ada beberapa orang mahasiswa yang terlibat KKN yang menyampaikan kekecewaannya karena konsepnya tidak jelas. Hal itu membuat mahasiswa di lokasi KKN hanya sekadar mengikuti arahan pembimbing dan selanjutnya diserahkan kepada kepala desa setempat.
Setelah serah terima kemudian hanya mengikuti program desa dan kegiatan seremonial lainnya hingga tidak terasa waktu habis dan dampak strategis nyaris tidak ada. Hal itu semua terus diulang-ulang tanpa evaluasi yang mendalam.
Dharma pengabdian kepada masyarakat sebagai salah satu pilar utama akademik seharusnya memiliki target capaian yang jelas. Outcome-nya harus mampu menunjukkan bahwa mahasiswa dan dosen dapat memberikan dampak strategis bagi masyarakat, mengubah kondisi yang kurang baik menjadi lebih baik, meningkatkan kesejahteraan, serta membekali masyarakat dengan keterampilan tambahan yang bermanfaat dalam jangka panjang.
Semoga KKN mahasiswa ke depan, benar-benar ada outcome yang mampu meningkatkan kemampuan dan kapasitas mahasiswa dan dosen menjadi seorang ahli dan pakar dan membantu masyarakat lebih maju dan memajukan kehidupannya. Amin.