
Oleh: Ace Somantri*
SEKOLAH yang baik dan benar, seharusnya mampu mengubah usia anak sekolah yang kurang pintar menjadi cerdas dan yang kurang baik menjadi lebih baik, bukan hanya menyeleksi mereka yang sudah memiliki kelebihan dan keunggulan. Dampak lain dari eksklusivitas sekolah elitis dan borjuis adalah terbatasnya kesempatan bagi anak-anak dari latar belakang kurang mampu untuk meningkatkan kapasitas diri lebih baik dan maju, termasuk memperbaiki taraf hidup mereka di masa yang akan datang.
Pendidikan yang berkualitas seharusnya menjadi jalan bagi semua usia anak sekolah untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Namun, jika praktik sistem pendidikan hanya memberikan kesempatan kepada mereka yang sudah diuntungkan sejak awal, siklus kemiskinan dan kelas sosial antara proletar dan borjuis akan terus berulang hingga membudayakan perilaku sosial anarkistik. Anak-anak usia sekolah dari keluarga miskin atau duafa berbagai hal akan tetap sulit mendapatkan pendidikan yang baik sehingga akses mereka ke pekerjaan berkualitas juga semakin terbatas di masa depan.
Tak hanya itu, selektivitas sekolah-sekolah favorit juga sering kali berdampak negatif terhadap motivasi dan psikologi anak-anak yang tidak berhasil masuk ke dalamnya. Mereka yang gagal lolos seleksi bisa merasa minder dan kehilangan semangat belajar, seolah-olah mereka tidak cukup baik untuk mendapatkan pendidikan berkualitas.
Padahal, potensi, minat, dan bakat setiap anak berbeda-beda yang seharusnya diberi kesempatan untuk berkembang di lingkungan pendidikan yang mendukung. Bukan malah didiskriminasi dengan perlakuan tidak adil sejak awal melalui seleksi ketat yang hanya mengutamakan kecerdasan akademik dan kelebihan lainnya.
Sistem sekolah elitis juga menciptakan ketimpangan dalam alokasi sumber daya pendidikan secara tidak adil. Sekolah-sekolah favorit sering kali mendapatkan perhatian lebih dari masyarakat dan kadang-kadang dari pemerintah maupun pihak swasta dalam hal fasilitas, pendanaan, dan tenaga pengajar. Hal itu karena seolah-olah sekolah berhasil dan membangun citra sekolah yang mampu menyelenggarakan pendidikan memenuhi harapan masyarakat.
Sementara itu, sekolah-sekolah di daerah atau yang tidak memiliki label unggulan sering kali kekurangan fasilitas dan tenaga pendidik berkualitas. Padahal, jika sumber daya pendidikan dialokasikan secara merata, kualitas pendidikan di seluruh sekolah di mana pun ada kemungkinan dapat meningkat kualitasnya. Dengan demikian, anak usia sekolah tidak akan berebut menuju sekolah-sekolah tertentu yang mengakibatkan pihak sekolah yang dituju melakukan seleksi yang ketat.
Oleh karena itu, perlu ada perubahan mendasar dalam sistem pengelolaan penerimaan pendidikan di Indonesia. Langkah itu sempat dilakukan sistem zonasi sehingga berkurang dari segelintir sekolah unggulan yang diskrimintaif, namun masih menyisakan masalah lain. Perubahan manajemen penerimaan, pelayanan, dan perhatian sekolah di semua jenjang satuan pendidikan dirotasi semua pendidik secara berkala dan monitoring fasilitas serta yang lainnya dibuat sejujur-jujurnya oleh pengawas dari pemerintah agar tidak lagi terjebak dalam konsep sekolah elitis yang eksklusif.
Sekolah yang baik bukanlah sekolah yang hanya menampung usia anak-anak pintar dan kaya raya, tetapi sekolah yang mampu mendidik semua usia anak tanpa memilah hingga menjadi lebih baik. Pendidikan dikembalikan seutuhnya harus menjadi hak bagi semua usia anak sekolah, tanpa memandang latar belakang ekonomi, sosial, politik, dan tingkat kecerdasan dasar serta faktor lainnya.
Dengan perubahan kebijakan yang lebih inklusif dan berkeadilan, penuh dengan keseungguhan melayani masyarakat, diharapkan pendidikan dapat benar-benar menjadi alat dan media untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Kemudian mampu membangun kekuatan negara di kemudian hari, bukan memperkuat keregangan dan kesenjangan sosial yang berdampak buruk terhadap keberlangsungan sebuah bangsa. Pendidikan harus mendidik semua pihak. Bukan hanya mendidik usia anak sekolah, melainkan mendidik para pemangku kebijakan ataupun masyarakat pada umumnya.
Pendidikan inklusif dan adil
Pendidikan yang ideal seharusnya tidak hanya menjadi hak eksklusif bagi mereka yang berasal dari keluarga kaya atau memiliki kecerdasan akademik tinggi. Namun, harus dapat diakses oleh semua usia anak sekolah tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, dan faktor lainnya.
Setiap usia anak sekolah memiliki potensi, minat, dan bakat yang berbeda-beda. Sementara itu, tugas utama lembaga pendidikan adalah membantu mereka menemukan serta mengembangkan potensi, minat, dan bakat yang dimiliki. Pendidikan itu hak asasi dan fitrah kemanusiaan. Tidak hanya tentang mencetak usia anak sekolah menjadi berprestasi secara akademik. Namun, membentuk karakter, etika, moral beragama, dan keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupan mereka dan berguna kepada orang lain hingga membangun sebuah bangsa di masa depan.
Sistem pengelolaan pendidikan yang inklusif harus berorientasi pada pemerataan kesempatan belajar kepada semua lapisan masyarakat. Hal demikian berarti berlaku untuk setiap sekolah, baik di perkotaan maupun di daerah terpencil. Tata kelolanya harus memiliki standar kualitas yang sama dalam hal fasilitas, tenaga pengajar, dan metode pembelajaranya.
Tidak boleh lagi ada kesenjangan yang terlalu jauh antara sekolah unggulan dan sekolah yang dianggap biasa. Semua usia anak sekolah berhak mendapatkan pendidikan berkualitas, bukan hanya mereka yang mampu membayar biaya sekolah yang mahal atau memiliki nilai akademik tinggi sejak sedari awal. Selain itu, pendidikan dalam tata kelola seharusnya tidak hanya berfokus pada aspek akademik, tetapi memperkuat pengembangan karakter dan keterampilan hidup (life skill) sesuai kebutuhan di masanya.
Anak-anak usia sekolah perlu diajarkan nilai-nilai moral, kerja sama, kepemimpinan, serta keterampilan berpikir kritis dan kreatif. Sekolah tidak hanya tempat untuk menghafal teori dan mengejar nilai tinggi. Namun, harus menjadi tempat yang membentuk kepribadian dan membekali anak-anak dengan kemampuan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari.
Berbagai pendekatan pembelajaran digunakan berdasarkan situasi dan kondisi sekolah dan peserta didik. Karakter pembelajaran fleksibel dan berorientasi pada kebutuhan siswa juga diterapkan. Setiap usia anak sekolah memiliki gaya belajar yang berbeda sehingga sistem pengelolaan pendidikan dalam satuan jenjang harus mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan tersebut.
Termasuk kurikulum yang terlalu kaku, rigid, dan berorientasi pada ujian sering kali mengabaikan kebutuhan individu siswa atau pserta didik. Oleh karena itu, sistem penyelenggaraan pendidikan seharusnya lebih adaptif, memberikan ruang bagi siswa untuk belajar sesuai dengan minat dan bakat mereka, serta menerapkan metode pembelajaran yang lebih inovatif, kreatif, dan interaktif.
Selain pengembangan nilai-nilai akademik dan karakter, pendidikan juga harus menjadi alat untuk membangun sikap kesetaraan sosial. Sekolah harus menjadi tempat di mana anak-anak dari berbagai latar belakang dapat berkomunikasi dan berinteraksi baik, belajar bersama satu sama lain, saling menghormati, dan juga sekolah menjadikan media saling menerima dan memperkuat di antara mereka sehingga terhindar suasana memperlebar kesenjangan sosial.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakan taktis dan strategis yang memastikan bahwa semua anak mendapatkan kesempatan yang sama untuk mengakses pendidikan yang berkualitas. Termasuk melalui program beasiswa, subsidi pendidikan, serta peningkatan kualitas sekolah-sekolah tanpa ada perbedaan antara negeri dan swasta. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi pembentukan opini di masyarakat antara sekolah negeri dan swasta sebagai pembeda kelas sosial. Wallahu’alam.
*Wakil Ketua PWM Jawa Barat