Bandung – Persyarikatan Muhammadiyah, yang didirikan pada 1912, telah berkembang pesat dengan berbagai Amal Usahanya (AUM) dan dikenal luas sebagai gerakan amal. Namun, menurut Ketua Lembaga Resiliensi Bencana (LRB) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah dan tokoh Kampung Kauman Yogyakarta, Budi Setiawan, Muhammadiyah tidak hanya sebatas gerakan amal, tetapi merupakan gerakan pemikiran.
Hal ini karena sebelum terjun dalam aktivitas amal, Kiai Ahmad Dahlan memulai dengan pemikiran yang mendalam. “Pada awalnya, Kiai Dahlan bersama murid dan teman-temannya mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah setelah melalui pemikiran yang sangat mendalam,” ujar Budi dalam acara GSM Aisyiyah Jawa Barat secara daring pada Rabu (14/08/2024).
Budi menjelaskan bahwa pemikiran reflektif dan mendalam yang dilakukan Kiai Dahlan adalah dasar dari gerakan amal salih Muhammadiyah. Kiai Dahlan melihat adanya ketidaksesuaian antara ajaran agama Islam dengan praktik kehidupan umat Islam pada masa itu yang dinilai masih tertinggal.
“Alih-alih menyalahkan umat Islam saat itu, Kiai Dahlan memulai perubahan dari dirinya sendiri. Langkah pertama yang diambilnya adalah fokus pada kebersihan diri,” jelas Budi.
Menurut Budi, Kiai Dahlan memandang kebersihan lingkungan sebagai refleksi dari kebersihan diri. Oleh karena itu, pelajaran pertama yang diajarkan Kiai Dahlan adalah tentang kebersihan diri yang secara bertahap juga memengaruhi kebersihan lingkungan, masyarakat, dan hubungan sosial.
“Semua manusia diciptakan dalam keadaan suci, tetapi kesucian itu bisa ternodai oleh nafsu. Kiai Dahlan percaya bahwa nafsu adalah sumber dari berbagai kesalahan dan harus dikendalikan agar manusia tidak diperbudak oleh nafsu tersebut,” ungkap Budi.***