Oleh: Ace Somantri
Bandung — Entah apa yang menjadi alasan ada istilah hari guru. Apakah penting sebuah istilah pada suatu profesi harus selalu ada hari yang dijadikan sebagai peringatan, termasuk petani, nelayan, pelayan rumah tangga, pelayan kantor, tukang parkir, penggembala, pilot, supir, kondektur, pedagang, dan lain sebagainya.
Apalagi peringatan-peringatan di berbagai kejadian dan peristiwa dihari-hari yang kemudian diperingatkan. Andaikan semua istilah harus ada peringatan, dalam satu hari dan tanggal yang sama pasti sangat banyak peringatan, baik itu tingkat internasional maupun nasional.
Terlepas dari itu semua, bagi setiap individu manusia diberikan hak untuk mengekspresikan sikapnya dalam mengisi ruang dan waktu, begitupun di tanggal 25 November dikenal dengan Hari Guru Nasional. Semoga tidak hanya berhenti dalam refleksi yang sekedar memuja dan memuji profesi guru dengan sesaat, namun momentum ini dapat memaknai di balik peran dan fungsi guru lebih dalam konteks pendidikan kekinian.
Guru bukan sekedar profesi atau sebuah jenis pekerjaan, dan guru juga bukan sekedar belajar mengajar di sekolah. Guru dalam arti yang sangat luas hampir tidak ada batasan sehingga yang membatasinya melainkan dengan sikap, gerak, dan langkah yang diperbuat.
Makna guru dipahami oleh siapa pun yaitu orang yang memberikan petunjuk, bimbingan, dan arahan hal-hal yang baik dan benar. Siapa pun mereka tanpa memandang dalan satu ikatan dinas yang hanya dalam lingkup sekolah, melainkan di mana pun ruang lingkupnya, selama memerankan dan mengfungsikan sebagaimana halnya sosok yang ditiru atau diteladani.
Diakui atau tidak, sosok tersebut senantiasa ada dalam ruang dan waktu di mana pun kita berada. Hal yang wajar setiap orang saat-saat tertentu kadang ada ungkapan sesorang terhadap orang lain sambil mengucapkan kata-kata seperti “Nah ini guru saya yang sering mengingatkan manakala ada hal yang tidak tepat dilakukan, dan kadang-kadang memberikan saran baik”.
Padahal yang dikatakan guru tersebut tidak pernah mengajarnya di tingkat sekolah mana pun, hanya karena dirinya sering dibimbing, diarahakan, dan diberikan saran-saran baik.
Sementara itu, dalam pandangan masyarakat pada umumnya bahwa guru itu sosok pengajar yang berprofesi guru di sekolah formal maupun non formal. Termasuk di lembaga pendidikan berbasis asrama atau boarding school, biasanya yang menjaga dan yang mendampingi disebut guru atau ustaz dan ustazah.
Secara substansi bahwa guru adalah siapa pun yang memberikan pengajaran dalam bentuk arahan, saran, dan mengingatkan dalam hal kebaikan dan kebenaran. Pada era digital dapat disaksikan dan dirasakan oleh semua kalangan, peran guru fenomenanya sudah bergeser hingga tidak terasa ada paradigma yang berbeda dari tradisi sebelum masuk era digital.
Takdzim atau penghormatan penuh terhadap guru begitu sangat memuliakan, namun saat ini hampir dipastikan penyikapan terhadap posisi seorang guru memiliki derajat yang sama secara kemanusiaan dengan profesi lain. Tidak ada bedanya.
Hal tersebut dipengaruhi oleh budaya masyarakat yang kian hari semakin terjadi pergeseran dari adat istiadat ketimuran menuju adat kabaratan, baik sikap murid atau siswa maupun guru itu sendiri yang menyejajarkan semua profesi dengan istilah kesetaraan.
Bahkan termasuk jenis kelamin pun dalam konteks profesi telah mendorong hak kesamaan yang dikenal dengan kesetaraan gender yang sudah berlangsung cukup lama.
Fenomena di atas sudah berjalan lama sejak saat masuk abad 20 hingga abad sekarang terus berubah selalu dinamis. Begitupun profesi guru tidak terasa sudah mulai diganti oleh mesin robot, dalam layar kaca alat komunikasi, dan media pembelajaran lainnya.
Pada saat peran dan fungsi guru diganti oleh mesin robot, apakah transformasi nilai-nilai akan terjadi dengan baik atau justru semakin menjauhkan dari tujuan hakikat pendidikan itu sendiri?
Dengan hadirnya mesin robot yang menyampaikan materi dengan tampilan komunikasi sangat menarik, terlebih saat interaksi lebih dialogis. Bahkan penguasaan materi sangat mumpuni dan menguasai, waktu sangat disiplin, namun juga mudah dikondisikan.
Begitulah abad hari ini, tak terbayangkan hal ini terjadi puluhan tahun ke belakang oleh orang-orang yang tidak berpikir jauh ke depan. Pada era hari ini masih ada yang berpikir lebih parah, hal ini terjadi selalu dituduh sebagai perbuatan yang merusak mental dan spiritual beragama.
Padahal, jikalau dikuasai ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut, kemudian dipelopori dan dibuat untuk kepentingan kebaikan dan kebenaran ajaran agama. Maka hal ini bagian jawaban dari dinamika peradaban dunia wujud nyata keberadaan manusia yang tetap memiliki eksistensi dalam menajalankan ajaran agama, termasuk Islam sebagai ajaran satu-satunya yang benar-benar menyelamatkan.
Kiranya saat ini umat muslim di mana pun berada harus mampu membuka lembaran baru dari ayat-ayat Ilahi yang belum dibaca dengan seksama hingga terwujud peradaban lebih maju dari hari ini. Waktu terus berjalan tanpa melihat situasi, justru ruang dan waktu harus dipenuhi situasi dan kondisi yang berisi nilai-nilai ajaran agama.
Tidak saling menunggu, apalagi saling menyalahkan dengan saling tuduh yang membuat hubungan umat muslim tidak bersatu padu. Kekuatan akal sehat yang didorong dari kejujuran nurani atas dasar ajaran Ilahi Rabbi akan membangun semesta lebih adil dan beradab.
Mesin-mesin robot harus dikendalikan untuk kepentingan peningkatan mutu hidup beragama semakin mendekatkan diri kepada Ilahi Rabbi, sekaligus membuat algoritma dengan rumusan yang mempersiapkan konsekeunsi dampak buruk dari perkembangan teknologi tersebut.
Dampak buruk sudah pasti adanya, dikarenakan setiap produk ilmu pengetahuan dan teknologi saat dalam aplikasi pelaksanaannya selalu ada dampak buruknya. Hal itu boleh dikatakan bersifat alamiah terjadi di dunia alam semesta karena segala sesuatu yang terjadi selama tempatnya di dunia tidak akan lepas dari hawa nafsu buruk sifat-sifat kemanusiaan.
Guru selama berabad-abad selalui menteladani apa saja nilai-nilai kebaikan yang disampaikan. Sudah menjadi tren dan frame masyarakat bahwa guru adalah sosok yang harus “digugu dan ditiru” dalam kehidupan sehari-hari.
Keteladanan guru sangat sakral sehingga saking begitu sakralnya dalam hal keteladanan guru telah menjadi contoh kehidupan anak didiknya yang tergambar dalam ungkapan peribahasa kritis sangat populer yaitu “guru kencing berdiri, anak didik kencing berlari”.
Dari peribahasa tersebut dapat diambil makna filosofinya bahwa guru sosok yang benar-benar menjadi teladan, sikap baik dan buruk seorang guru menjadi kunci dan jawaban anak didiknya di masa yang akan datang. Sehingga tidak aneh, dalam abad ini guru selalu menjadi objek tuduhan, baik langsung atau tidak, manakala anak didiknya memiliki sikap dan perilaku menyimpang.
Padahal, dalam kenyataannya sangat mungkin sikap dan perilaku anak didiknya dipengaruhi oleh media lain yang secara tidak disadari telah mengambil posisi peran dan fungsi guru yang mempengaruhi dan mengarahkan pada perbuatan menyimpang melanggar kaidah hidup sebenarnya.
Sehingga kerja keras dan cerdas guru yang asli bukan terletak pada golongan dan pangkat jabatan, melainkan sejauh mana mampu menangkis dan memperkuat profesi guru lebih genius dari media lain yang sudah mengambil peran dan fungsinya.
AI atau kecerdasan buatan sudah jelas saat ini sudah digunamanfaatkan oleh semua aktivitas manusia, termasuk sosok guru atau pendidik lainnya. Konsekuensi dan resiko faktanya sudah banyak terlihat oleh kasat mata.
Saatnya tidak sibuk menyalahkan dan menuduh bahwa ini dan itu salah yang salah. Justru bagaimana menghadapinya di depan mata, dan membuat produk ilmu kedepan lebih canggih ada dalam kendali kebaikan dan kebenaran sesuai ajaran Islam, baik dari konsekuensi yang terjadi terhadap para pihak yang terlibat.
Karya ide dan gagasan tidak akan berhenti selama dunia ini ada, begitupun produk ilmu pengetahuan dan teknologi tidak berhenti dalam satu karya cipta yang ada, melainkan akan terjadi perubahan setiap saat manakala manusia terus berpikir dan berkarya.
Peran guru tetap konsisten memberi keteladanan yang baik, memberi spirit dan motivasi, menginspirasi penuh dedikasi tinggi serta tidak lupa senantiasa mengingatkan selalu akan hawa nafsu manusia pada saat-saat tertentu mempengaruhi pada hal-hal kemaksiatan dan kemunkaran dalam kehidupan nyata yang kadang-kadang tidak terasa dan tidak disadari.
Terima kasih guruku, engakau pahlawan tanpa tanda jasa. Nasihatmu tak lekang ditelan masa. Jasa-jasamu akan menjadi pemberat amal saleh kelak pada saatnya dalam masa hisaban tiba.
Cucuran keringatmu menjadi saksi dihadapan Ilahi Rabbi. Suara bentakan keras tanda kasih sayangmu pada murid-muridmu akan menjadi saksi akan kasih sayangmu yang tulus akan menjadi pertimbangan kelak di yaumul mizan (hari pertimbangan).
Coretan-coretan kapur dan spidol dalam board juga tak ketinggalan akan memberikan saksi akan kepedulianmu pada generasi. Lemabaran catatan abseni kehadiran yang engkau bawa setiap masuk kelas hingga hapal nama satu per satu dari setiap anak didikmu, baik itu yang dianggap pintar, nakal, dan dianggap loading lama alias telat mikir.
Kesabaran yang engkau tunjukan saat menghadapi berbagai kenakalan dan lambatnya menangkap materi saat anak didiknya menerima pelajaran setiap bidang studi berbagai ilmu pengetahuan. Kami yakin engakau adalah benar-benar pahlawan tanpa tanda jasa. Wallahu’alam.***
Bandung, 25 November 2023