Malang – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir mengisi Pengajian Bulanan yang diselenggarakan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) di Masjid AR Fachruddin pada Jumat (19/07/2024). Dalam pengajian yang mengangkat tema “Kontekstualisasi Makna Hijrah untuk Mewujudkan Islam Berkemajuan,” Haedar mengingatkan supaya momen pergantian Tahun Baru Hijriyah tidak sebatas perayaan lalu dilupakan maknanya.
Selain disyukuri, peringatan tahun baru juga sebagai kesempatan untuk melakukan muhasabah atas amalan yang telah dilakukan, tidak hanya amal yang bersifat pribadi, tapi juga amalan yang sifatnya kelompok atau organisasi. Amal kebajikan yang dilakukan sangat banyak jangan sampai hanya menjadi debu yang tertiup angin – lalu lepas, karena dalam pengerjaan amal kebajikan tersebut tidak dilandasi dengan keikhlasan.
Muhasabah atau introspeksi diri selain untuk melihat amalan-amalan yang telah dilakukan ke belakang, muhasabah dilakukan juga untuk melihat proyeksi ke depan, dan menata kehidupan pada masa mendatang supaya lebih cerah. Intropeksi juga dapat dilakukan secara institusi, termasuk membaca dan menghitung ulang gerak langkah Muhammadiyah dalam membangun peradaban utama. Haedar menyebut, selama lebih dari seabad Muhammadiyah telah banyak berbuat.
Namun, menurutnya itu tidak cukup hanya sampai di situ, melainkan amal kebajikan yang dilakukan oleh Persyarikatan Muhammadiyah harus senantiasa dirawat sebagai amal jariyah Muhammadiyah dan para aktivisnya. Tantangan Muhammadiyah terkini, menurut Haedar tidak kalah besarnya dengan yang lalu-lalu. Dia mengibaratkan semakin tinggi pohon itu maka akan semakin besar dan kencang angin meniupnya.
“Semakin tinggi itu masalah dan tantangan juga semakin besar, sebaliknya kalau kita diam itu tantangan dan masalah sedikit – kecuali diamnya itu,” ungkap Haedar seperti dikutip dari laman resmi Muhammadiyah. Namun, tantangan yang kian besar tidak lantas membuat Muhammadiyah undur diri dan enggan menghadapinya. Akan tetapi, Muhammadiyah harus kuat dan kesatria dalam menghadapi badai tantangan yang kian besar itu.
Salah satu tantangan menahun di tubuh umat Islam yang juga menjadi tantangan Muhammadiyah adalah jumlah umat yang mayoritas di Indonesia, tapi masih belum menjadi penentu karena kuantitas belum berbanding dengan kualitas. Pos-pos penting ruang publik di negeri diisi oleh mayoritas muslim, akan tetapi kadar keimanan mereka berbeda-beda. Sehingga cara mereka memperlakukan amanah juga tidak sama, menambal bolong sana dan sini membutuhkan peran Muhammadiyah.
Oleh karena itu Haedar meminta ke mubalig Muhammadiyah untuk menyuarakan Islam sebagai patokan nilai, agar agama itu menjadi pedoman hidup. Tapi itu memang diakui tidak gampang menyampaikan nilai Islam ke para elite. “Menggerutu terus tentang keadaan tidak ada rampungnya, toh itu di hadapan kita dan menjadi urusan kita. Lebih baik kita balik masalah itu menjadi tantangan kita untuk meluruskan, meningkatkan, dan memperkaya paham agama,” tuturnya.
Pada kesempatan ini Haedar mengajak kepada aktivis dakwah Muhammadiyah untuk kembali muhasabah terkait dengan jangkauan gerakan, sebab dakwah tidak boleh hanya di masjid, tapi juga harus di gedung-gedung pencakar langit, di desa-desa, sampai dengan di tempat-tempat yang ‘sangar’.***