Bandung – Ketua Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Universitas Muhammadiyah Bandung Iim Ibrohim menyampaikan pandangannya mengenai karakteristik ideal guru PAI di abad 21. Menurut Iim, perubahan zaman dan perkembangan teknologi mengharuskan guru PAI untuk terus beradaptasi dan menghadirkan metode pengajaran yang relevan dan efektif.
Dalam sebuah buku berjudul “Al Arabiyyah Baina Yadaik” karya Abdurrahman bin Ibrahim Al-Fauzan dkk disebutkan bahwa pembelajaran di masa lalu sangat terbatas hanya untuk orang kaya atau penduduk kota. Kini, pendidikan sudah menjadi hak setiap individu.
“Pembelajaran kini bagaikan air dan udara,” ungkap Iim, menggambarkan betapa mudahnya akses pendidikan di era modern ini. Hal tersebut Iim sampaikan saat memberikan pembekalan kepada mahasiswa prodi PAI angkatan 2020 dalam Baitul Arqam Purna Studi di Aula Al-Irfani, Komplek Perguruan Muhammadiyah, Jalan Kadipaten Nomor 04-06, Antapani, Kota Bandung, pada Jumat (06/09/2024) lalu.
Lebih lanjut, Iim menjelaskan bahwa dahulu para siswa harus menempuh perjalanan jauh untuk belajar, sedangkan sekarang sekolah-sekolah sudah ada di setiap kota dan desa. Bahkan, dengan kemajuan teknologi, siswa dapat belajar dari rumah melalui internet. “Namun, ada pergeseran motivasi, baik dari guru maupun siswa. Dulu, guru mengajar tanpa mengharapkan gaji dan siswa belajar untuk ilmu, bukan sekadar ijazah,” tambahnya.
Melihat kondisi ini, Iim menekankan pentingnya guru PAI meluruskan niat para siswa untuk belajar demi ilmu, bukan sekadar mengejar gelar. “Generasi X, Y, Z hingga Alpha perlu didampingi dengan panduan teologis yang tepat agar proses pembelajaran sesuai dengan perkembangan zaman,” ujar Iim. Menurutnya, ajaran Ali bin Abi Thalib yang mengarahkan agar pembelajaran disesuaikan dengan zaman sangat relevan untuk diterapkan saat ini.
Pembentuk karakter
Menurut Iim, tantangan guru PAI tidak hanya terletak pada pembelajaran formal di kelas. Guru PAI juga diharapkan menjadi ujung tombak dalam membentuk karakter islami para siswa. “Guru PAI telah diwanti-wanti oleh Al-Quran agar tidak meninggalkan generasi dalam keadaan lemah, baik dari segi pengetahuan maupun akhlak,” jelasnya, merujuk pada surah An-Nisa ayat 9.
Lebih lanjut, Iim mengutip kitab “Ta’lim Muta’allim” karya Syekh Azzarnuji yang menyebutkan bahwa siapa pun yang mengajarkan satu huruf dalam agama dianggap sebagai “ayah dalam urusan agama.” “Kedudukan ini adalah penghargaan tertinggi yang dapat mengantarkan seorang guru ke surga Allah SWT,” tambahnya.
Dalam konteks pendidikan Islam, Iim mengaitkan konsep hadis tentang rawi, sanad, dan matan untuk menggambarkan pentingnya dua standar utama yang harus dimiliki seorang guru: intelektualitas dan karakter. “Guru PAI ideal harus memiliki intelektualitas dan karakter yang baik. Keduanya harus terus diasah dengan belajar dan berakhlak mulia,” tegasnya.
Menghadapi tantangan saat ini yang penuh dengan keterbukaan informasi, Iim menekankan pentingnya beberapa keterampilan bagi guru PAI. Misalnya, berpikir kritis, berkomunikasi efektif, berkolaborasi, selalu berinovasi, dan kreatif dalam pembelajaran. “Semua itu adalah tuntutan zaman yang tidak bisa dihindari,” ujarnya.
Pendekatan baru
Dalam kaitannya dengan hal ini, Iim juga mengingatkan pesan Rasulullah SAW, “Allimu, wayassiru, wala tu’assiru”, yang artinya ajarilah dengan mempermudah, bukan mempersulit. Guru PAI, menurutnya, perlu terus mencari pendekatan dan metode baru yang lebih efektif agar siswa lebih mudah memahami materi.
Sebagai penutup, Iim mengingatkan bahwa sesuai dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003, guru tidak hanya dituntut untuk memiliki kompetensi pedagogik, profesional, kepribadian, dan sosial. Namun, bagi guru PAI, perlu ada tambahan kompetensi spiritual, kepemimpinan, dan technopreneurship.
“Guru PAI harus menjadi teladan dalam doa dan zikir serta mampu mengelola teknologi untuk mengembangkan usaha,” pungkas doktor lulusan Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung ini.***(FA)