
Oleh: Nashrul Mu’minin*
Festival Muslim Bali 2025 yang diselenggarakan di Denpasar menghadirkan dimensi baru dalam dakwah dan penguatan komunitas Islam, yakni dengan menyoroti isu kesehatan mental dan rohani.
Masalah utama yang diangkat dalam festival ini adalah meningkatnya tantangan psikologis yang dialami generasi muda muslim. Terutama di tengah tekanan globalisasi, pariwisata yang dominan di Bali dan keterbatasan ruang komunitas Islami di daerah minoritas.
Festival ini mencoba menjawab keresahan itu dengan menyatukan aspek ibadah, seni islami, dan diskusi akademik mengenai kesehatan mental yang kerap terabaikan dalam dakwah konvensional.
Tujuan utama dari penyelenggaraan festival ini adalah untuk memperkuat solidaritas umat sekaligus menghadirkan ruang aman bagi muslim Bali dalam membicarakan kesehatan mental tanpa stigma. Panitia menekankan bahwa Islam bukan hanya berbicara tentang ritual formal, tetapi keseimbangan jiwa dan akal.
Oleh karena itu, tema kesehatan mental dipadukan dengan nilai-nilai rohani agar masyarakat muslim merasa relevan dengan ajaran agama dalam menghadapi persoalan psikologis sehari-hari. Melalui kegiatan ini, peserta diharapkan tidak hanya memperoleh hiburan Islami, melainkan keterampilan untuk menjaga ketenangan batin.
Data awal menunjukkan bahwa 62 persen peserta festival merasa isu kesehatan mental jarang dibicarakan di forum dakwah sebelumnya. Sementara itu, 28 persen menyatakan baru pertama kali mengikuti kajian Islam yang membahas kesehatan mental secara terbuka. Hanya 10 persen yang sudah akrab dengan wacana ini sebelum hadir di festival.
Angka ini menggambarkan adanya celah besar dalam penyampaian dakwah Islam yang sering kali berhenti pada aspek ibadah formal, padahal dimensi psikologis umat sangat membutuhkan perhatian serius. Festival ini dengan demikian menjadi terobosan strategis untuk menjembatani kebutuhan tersebut.
Analisis lebih jauh terhadap data partisipasi juga memperlihatkan kecenderungan positif. Dari sekitar 2.000 pengunjung yang hadir, 55 persen adalah anak muda usia 18–30 tahun, 30 persen berasal dari kelompok keluarga muda, dan sisanya adalah kalangan profesional dan tokoh masyarakat.
Proporsi ini menunjukkan bahwa isu kesehatan mental dalam Islam paling banyak diminati oleh generasi muda yang sedang mencari jati diri sekaligus cara mengelola stres. Hal ini sejalan dengan tren global bahwa generasi muda lebih terbuka dalam membicarakan isu kesehatan mental dibandingkan dengan generasi sebelumnya.
Evaluasi dari kegiatan ini memperlihatkan bahwa 70 persen peserta merasa lebih percaya diri untuk mencari bantuan psikologis setelah memahami bahwa kesehatan mental tidak bertentangan dengan ajaran Islam.
Sementara itu, 20 persen menyatakan festival ini membantu mereka menemukan komunitas baru sebagai ruang berbagi. Namun, masih ada 10 persen yang merasa topik ini terlalu akademis dan kurang praktis dalam kehidupan sehari-hari.
Evaluasi ini menunjukkan pentingnya merancang pendekatan yang lebih aplikatif. Misalnya, dengan lokakarya praktis tentang manajemen stres Islami atau konseling berbasis masjid.
Festival Muslim Bali juga memperlihatkan bagaimana minoritas muslim di daerah wisata internasional mampu merumuskan identitasnya secara positif. Bali yang sering dikaitkan dengan pariwisata global, menawarkan tantangan tersendiri bagi muslim yang ingin tetap menjaga identitas spiritualnya.
Dengan menghadirkan tema kesehatan mental, festival ini tidak hanya menegaskan keberadaan muslim Bali. Namun, memperkaya narasi bahwa Islam dapat berdialog dengan persoalan modern tanpa kehilangan substansinya.
Menurut saya, festival ini menjadi contoh konkret bahwa dakwah Islam perlu merangkul isu-isu kontemporer yang relevan dengan kehidupan umat. Selama ini, banyak kajian keislaman yang terlalu fokus pada aspek normatif sehingga terkesan jauh dari realitas sosial.
Dengan mengangkat kesehatan mental, Festival Muslim Bali 2025 menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang peduli terhadap kebahagiaan batin manusia. Hal ini menjadi inspirasi agar kegiatan dakwah di daerah lain juga mulai memperluas fokusnya ke ranah psikologis dan sosial.
Festival Muslim Bali 2025 berhasil membuka wacana baru tentang pentingnya kesehatan mental dan rohani bagi umat Islam, terutama di komunitas minoritas.
Dengan dukungan data partisipasi yang cukup meyakinkan, festival ini memberikan bukti bahwa isu kesehatan mental sangat dibutuhkan dalam ruang dakwah kontemporer.
Menurut saya, keberhasilan festival ini dapat menjadi titik awal bagi transformasi dakwah Islam yang lebih inklusif, relevan, dan berdampak nyata bagi kesejahteraan umat, baik jasmani maupun rohani.
*Content Writer Yogyakarta