Oleh: Ace Somantri*
Bandung – Kebijakan yang dibuat oleh Kemendikbudristek RI lagi-lagi menjadi sorotan karena dinilai tidak adil dan tidak setara. Kebijakan ini membawa kegembiraan bagi sebagian pihak, tetapi juga berdampak buruk pada pihak lain yang terkena imbasnya secara perlahan.
Tidak jelas apa yang mendasari keputusan ini. Semoga saja tidak ada salah tafsir terhadap kebijakan tersebut. Para dosen di pendidikan tinggi, terutama yang memiliki jabatan tambahan di institusinya, menyambutnya dengan senyum lebar.
Baru-baru ini ramai diperbincangkan terkait surat edaran yang membahas tunjangan kinerja dosen di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia, mulai dari asisten ahli hingga guru besar. Angka yang tercantum cukup besar sehingga membuat banyak dosen PTN merasa diuntungkan. Namun, pada sisi lain, kebijakan ini menimbulkan kekecewaan bagi sebagian pihak karena dampaknya bisa menjadi beban bagi sejumlah kalangan.
Kebijakan ini memiliki sisi positif, khususnya dalam upaya meningkatkan kualitas PTN agar dapat bersaing dengan perguruan tinggi berstandar internasional. Namun, perlu diingat bahwa di Indonesia juga ada perguruan tinggi yang diselenggarakan oleh masyarakat secara swadaya. Tanpa kajian yang mendalam, kebijakan ini bisa menjadi bumerang dan malah membebani perguruan tinggi swasta (PTS) di Indonesia.
Berbeda dengan negara-negara Barat, di mana pendidikan tinggi swasta lebih banyak diakses oleh kalangan kaya, di Indonesia kondisinya berbanding terbalik. Banyak PTS yang justru melayani masyarakat dari kalangan menengah ke bawah dan kebijakan yang diterima PTS selama ini cenderung membebani. Akibatnya, tidak sedikit PTS yang akhirnya terpaksa gulung tikar.
PTS di Indonesia harus berjuang sendiri untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya, seperti pembelian lahan, pembangunan gedung, dan penyediaan fasilitas pendukung. Termasuk juga sumber daya manusia yang sering kali tidak mendapatkan dukungan atau perhatian dari pemerintah. Upaya ini sebenarnya bisa menjadi contoh kemandirian, tetapi seharusnya pemerintah memberikan subsidi dari APBN agar PTS dan PTN dapat bersaing secara lebih adil.
Kekecewaan dosen PTS semakin besar ketika kuota beasiswa BPI tahun 2023 dipangkas hingga 70 persen dari tahun sebelumnya. Banyak dosen PTS yang akhirnya gagal melanjutkan studi karena tidak lulus seleksi. Hal ini sangat berbeda dengan janji pihak kementerian yang sebelumnya mengatakan akan ada peningkatan kuota beasiswa. Realitasnya, kebijakan ini dirasakan kurang berpihak pada PTS.
Selama kepemimpinan Menteri Nadiem di Kemendikbudristek, banyak kebijakan yang dinilai tidak strategis dan cenderung tidak adil. Kritik dari berbagai pihak sering kali diabaikan, kecuali ada intervensi dari presiden. Kebijakan publik seharusnya melalui uji publik dan mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh, bukan sekadar berdasarkan kehendak pribadi.
Jika memang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan di sektor pendidikan, kebijakan tersebut tidak boleh bersifat diskriminatif. Sejak adanya Undang-Undang Dosen dan Guru, seharusnya ada upaya untuk mewujudkan keadilan yang terus meningkat. Hal ini terlihat dalam Keputusan Menteri Kemendikbudristek Nomor 447/P/2024 yang menjelaskan tunjangan bagi dosen. Namun, ketentuan tersebut hanya berlaku untuk PTN, sedangkan PTS harus mengandalkan kemampuan internal masing-masing.
Berbagai diskusi dan opini bermunculan, bahkan keputusan tersebut ramai dibicarakan di grup Whatsapp PTS. Beragam tanggapan muncul, ada yang merasa senang, ada juga yang hanya bisa berharap kebijakan ini diterapkan di tempat mereka mengabdi. Namun, bagi pengelola PTS, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran karena dapat memicu tuntutan kenaikan kesejahteraan dosen, yang akan sulit dipenuhi jika anggaran terbatas, terutama dengan jumlah mahasiswa yang terus menurun.
Bagi PTS yang memiliki kondisi finansial baik, kebijakan tersebut bisa diimplementasikan dengan cepat. Namun, bagi PTS yang berada dalam kondisi finansial yang kurang stabil, kebijakan ini menjadi tantangan besar dan bisa menjadi ancaman bagi keberlangsungan operasionalnya. Pengalaman PTS yang harus tutup karena tidak mampu bertahan menghadapi perubahan ini menjadi pelajaran penting bagi yang lain.
Saat ini, fokus utama seharusnya pada peningkatan mutu lulusan yang memiliki kompetensi dan keterampilan sesuai kebutuhan dunia kerja. Penilaian terhadap perguruan tinggi sebaiknya tidak hanya berdasarkan portofolio administratif, melainkan juga kualitas nyata dari para lulusannya. Lulusan yang memiliki keunggulan dalam “knowledge and skill” harus menjadi prioritas agar mereka dapat bersaing di dunia industri.
Di luar segala rencana dan takdir, kebijakan pendidikan haruslah disesuaikan dengan kebutuhan zaman dan tantangan ke depan. Kebijakan mengenai tunjangan kinerja dosen harus didasarkan pada pencapaian yang nyata dan terukur. Semoga edaran tersebut dapat menjadi motivasi untuk meningkatkan kualitas kerja dan hasil pendidikan yang lebih baik serta sesuai dengan kebutuhan pasar.
Dengan pergantian pemerintahan saat ini, ada harapan besar bahwa menteri pendidikan berikutnya akan lebih berempati terhadap dunia pendidikan. Sosok seperti Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah) yang memiliki latar belakang akademis dan pengalaman internasional diharapkan bisa membawa perubahan positif bagi pendidikan di Indonesia. Semoga permasalahan dalam dunia pendidikan dapat terselesaikan dengan lebih baik. Wallahu’alam.
*Dosen UM Bandung dan Wakil Ketua PWM Jabar