Kabar Persyarikatan

Bolehkah Kulit Hewan Kurban Dijual? Ini Penjelasan Muhammadiyah

Bandung — Penyembelihan hewan kurban pada hari raya Idul Adha merupakan ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Dalam pelaksanaannya, sering kali muncul pertanyaan mengenai pemanfaatan kulit hewan kurban, khususnya apakah boleh dijual dan digunakan oleh panitia penyelenggara.

Untuk menjawab pertanyaan ini, perlu merujuk pada dalil-dalil syariat serta pandangan para ulama, sambil mempertimbangkan prinsip kemaslahatan dan kemudahan dalam agama.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abu Said, Rasulullah SAW bersabda:

Qatadah bin Nu‘man memberitakan bahwa Nabi SAW berdiri seraya bersabda, “Dulu saya memerintahkan kalian agar tidak makan daging kurban lebih dari tiga hari untuk memberi kelonggaran kepada kalian. Sekarang saya membolehkan kalian, maka makanlah sekehendak kalian, jangan jual daging dam dan kurban, makanlah, sedekahkan, dan manfaatkan kulitnya, tetapi jangan menjualnya. Jika kalian memberi sebagian daging itu kepada orang lain, makanlah apa yang kalian sukai.” (HR Ahmad).

Hadis ini secara tegas melarang penjualan daging kurban karena tujuan utama kurban adalah untuk dimakan dan disedekahkan kepada fakir miskin. Larangan serupa juga berlaku untuk kulit hewan kurban, dengan penegasan agar kulit tersebut dimanfaatkan, bukan dijual.

Namun, bagaimana penerapan larangan ini dalam konteks praktis, terutama terkait panitia kurban?

Ada perbedaan pendapat ulama tentang kulit kurban. Para ulama sepakat bahwa menjual daging kurban dilarang, sejalan dengan tujuan ibadah kurban untuk berbagi. Namun, mengenai kulit hewan kurban, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama:

Jumhur ulama: Sebagian besar ulama, sebagaimana dikutip oleh Ibnu Rusyd dalam “Bidayatul Mujtahid” (Juz I, hal. 438), bahwa kulit hewan kurban tidak boleh dijual. Kulit tersebut harus dimanfaatkan langsung, misalnya untuk keperluan rumah tangga atau disedekahkan, agar sesuai dengan tujuan ibadah kurban.

Imam Abu Hanifah: Dia membolehkan penjualan kulit hewan kurban, dengan syarat hasil penjualannya disedekahkan atau digunakan untuk membeli barang yang bermanfaat bagi keperluan rumah tangga (As-Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Jilid III, hal. 278). Pendapat ini memberikan kelonggaran dengan tetap menjaga esensi sedekah.

Mazhab Syafii: Ulama Syafii, sebagaimana disebutkan dalam “Nailul Authar” (Juz V, hal. 206) oleh Asy-Syaukani, memperbolehkan penjualan kulit hewan kurban asalkan hasilnya digunakan untuk kepentingan kurban, seperti disedekahkan atau mendukung pelaksanaan ibadah kurban.

Pemanfaatan kulit kurban

Pada dasarnya, kulit hewan kurban sebaiknya tidak dijual, sepanjang pembagian atau pemanfaatannya dapat mencapai kemaslahatan. Namun, dalam praktiknya, sering kali kulit kurban sulit dimanfaatkan secara langsung.

Jika disedekahkan atau dibagikan, kulit tersebut kadang tidak termanfaatkan dengan baik. Bahkan berisiko menjadi mubazir yang bertentangan dengan ajaran Islam yang melarang pemborosan.

Untuk mengatasi kesulitan ini, salah satu solusi adalah menukar kulit kurban dengan daging kepada pedagang, lalu daging tersebut disedekahkan.

Namun, pada hari raya Idul Adha atau hari-hari Tasyriq, pedagang daging sering kali tidak beroperasi, sehingga penukaran ini menjadi tidak praktis.

Dalam kondisi seperti ini, menjual kulit kurban dan menyedekahkan hasil penjualannya menjadi pilihan yang lebih realistis. Pendekatan ini didasarkan pada prinsip raf‘ul-haraj (menghilangkan kesulitan), yang didukung oleh dalil-dalil berikut:

Firman Allah dalam QS Al-Hajj (22): 78: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.”

Firman Allah dalam QS Al-Baqarah (2): 185: “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”

Hadis Nabi SAW (HR Al-Bukhari dari Abu Hurairah): “Agama itu mudah, agama yang paling disukai oleh Allah adalah yang benar dan mudah.”

Hadis Nabi SAW (HR Al-Bukhari dari Anas): “Mudahkanlah dan janganlah mempersukar.”

Dalil-dalil ini menegaskan bahwa agama Islam mengutamakan kemudahan dan menghindari kesulitan yang tidak perlu, selama tidak melanggar prinsip syariat.

Posisi panitia dalam pemanfaatan kulit kurban

Larangan menjual kulit kurban berlaku jika hasil penjualannya diambil oleh pemilik kurban. Pasalnya kulit tersebut merupakan bagian dari kurban yang harus disedekahkan atau dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

Namun, jika kulit dijual dan hasilnya digunakan untuk membeli daging atau kambing yang kemudian disedekahkan, hal ini diperbolehkan.

Yang menjadi perhatian adalah jika panitia menjual kulit kurban dan menggunakan hasilnya untuk keperluan pribadi atau konsumsi bersama panitia.

Tindakan ini kurang etis karena bertentangan dengan semangat kurban yang mengutamakan sedekah kepada yang berhak.

Sebagai solusi, kulit kurban sebaiknya dijual, dan hasilnya digunakan untuk membeli daging atau kambing yang kemudian dibagikan kepada fakir miskin atau masyarakat yang membutuhkan.

Anggota panitia secara individu, atau bahkan shahibul kurban, boleh menerima bagian dari daging kurban tersebut, sebagaimana halnya penerima sedekah lainnya.

Namun, lembaga panitia sebagai entitas tidak berhak mendapatkan bagian, sebagaimana dalam kasus amil zakat yang tidak berhak menerima zakat fitrah secara kolektif, melainkan hanya individu yang memenuhi syarat sebagai penerima.

Sumber: muhammadiyah.or.id.

Tampilkan Lebih Banyak

mpijabar

Akun dari MPI Jawa Barat 2015-2023

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button