
Perayaan akbar Milad ke-113 Muhammadiyah tahun ini akan mencatat sejarah baru. Berbeda dari tradisi yang lazimnya digelar di Yogyakarta, puncak resepsi kali ini akan diselenggarakan di Kota Bandung, bertempat di Universitas Muhammadiyah Bandung di Jalan Soekarno-Hatta Nomor 752. Acara ini dipastikan akan berlangsung meriah, salah satunya melalui pameran Perguruan Tinggi Muhammadiyah Aisyiyah (PTMA) yang akan digelar.
Keputusan Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah untuk menyelenggarakan puncak milad di luar Kota Gudeg bukanlah yang pertama. Sebelumnya, agenda serupa juga pernah digelar di Jakarta, Surakarta, bahkan terakhir di Kupang, yang sekaligus menjadi lokasi pelaksanaan Tanwir.
Bagi Muhammadiyah, Kota Bandung bukanlah tempat yang asing. Gerakan ini sudah menjejakkan kaki di Bandung sejak sekitar tahun 1936 dan pernah menjadi tuan rumah Muktamar ke-36 pada tahun 1965.
Dalam dokumen sejarah berjudul “Selesai Beres Penjelenggaraan Mu’tamar Muhammadijah ke-36” yang diterbitkan Panitia Penerima Muktamar, PP Muhammadiyah mengenang Bandung sebagai Kota A.A atau Kota Afrika Asia. Menariknya, suasana keislaman yang begitu kental saat Muktamar ke-36 berlangsung bahkan membuat sebagian peserta secara spontan memplesetkan inisial A.A menjadi “Kota Allahu Akbar”.
Muktamar ke-36 yang mengusung tema mulia: “Muhammadijah membangun di bidang materiel/spirituel menuju masyarakat adil dan makmur yang diridai Tuhan berdasarkan Pancasila dengan ajaran Islam yang murni” tersebut tercatat sukses besar.
Selain permusyawaratan utama, gelaran ini juga diramaikan dengan berbagai kegiatan organisasi otonom seperti Aisyiyah, IMM, Nasyiatul Aisyiyah, Pertemuan Sarjana Muhammadiyah, serta Majelis Tarjih. Tak ketinggalan, Majelis Ekonomi menyelenggarakan Pekan Industri dan Niaga I, sebuah pameran dagang yang menjadi cikal bakal bazar atau expo yang sering kita jumpai dalam muktamar masa kini.
Muktamar yang dibuka pada 20 Juli dan berakhir 25 Juli 1965 ini terjadi di tengah lesunya perekonomian nasional pasca-peristiwa G30S/PKI. Meskipun demikian, antusiasme yang hadir sungguh luar biasa.
Lebih dari 10.000 peserta dan penggembira membanjiri Kota Kembang, jauh melampaui perkiraan panitia yang hanya 3.000 orang. Kepadatan ini bahkan memaksa panitia harus menata ulang pemondokan sejak kedatangan peserta pada 17–19 Juli 1965.
Seperti agenda besar lainnya, Muktamar ke-36 memerlukan dana yang tidak sedikit. Anggaran awal yang diperkirakan mencapai Rp450 juta berhasil diefisiensikan panitia menjadi Rp120 juta karena kondisi ekonomi yang sulit.
Pada acara pembukaan di Gedung Gubernuran Jawa Barat, yang dihadiri sekitar 25.000 muktamirin, Ketua PP Muhammadiyah KH Ahmad Badawi dengan lugas memaparkan kondisi keuangan organisasi. Pidato yang jujur dan menggugah ini sontak menyulut solidaritas peserta. Secara spontan, terkumpul dana sebesar Rp21 juta tunai, belum termasuk sumbangan dalam bentuk cek.
Pembukaan muktamar yang dihadiri langsung oleh Presiden Sukarno ini juga menjadi tontonan menarik bagi warga Bandung. Berbagai kegiatan seperti pawai, drumband, serta Pekan Industri dan Niaga I yang telah dibuka tiga hari sebelumnya, ramai disaksikan warga.
Tak hanya itu, hiburan dari Pemuda Muhammadiyah dan Nasyiatul Aisyiyah juga turut memeriahkan suasana, menjadikan Muktamar ke-36 sebagai perhelatan yang dikenang dalam sejarah gerakan Islam di Indonesia.***







